Beberapa hari yang lalu, warganet sempat gaduh, media sedang ramai ketika ada salah satu tokoh mempersoalkan wayang, yang sudah menjadi tradisi turun temurun di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, dan bahkan pernah menjadi salah satu media wali songo untuk menyebarkan Islam.
Ada beberapa kelompok yang dengan tegas menolak wayang dan menganggapnya sebagai salah satu perbuatan haram, termasuk pendakwah yang mengkultuskan keharaman tersebut. Dan, ada pula yang mengatakan bahwa wayang tidak masuk dalam kategori haram, sebagai representasi bahwa Islam tidak menghilangkan tradisi, sepanjang tidak menentang ajaran Islam.
Sebelum membahas lebih dalam perihal hukum salah satu tradisi Indonesia ini, penting kiranya bagi penulis untuk menjelaskan apa maksud dari wayang dalam pandangan orang-orang Indonesia. Sebab, akan menjadi keliru jika menghukumi wayang menggunakan perspektif tradisi selain Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit, kayu, dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional.
Dengan berpijak pada pemaknaan di atas, maka dalam kajian Islam, para ulama khususnya yang memiliki bidang mentereng dalam diskursus ilmu fiqih menjadikan pembahasan wayang (gambar) sebagai kajian yang agak serius, dan alhasil, semua pendapat hasil ijtihad para ulama menuai hasil yang berbeda (khilaf).
Namun, ada pentingnya untuk membahas wayang melalui kajian ushul fikih, tidak sebatas fiqih yang hanya membahas perihal halal-haram tanpa adanya nalar yang tepat secara umum.
Wayang Dalam Kajian Ushul Fiqih
Dalam diskursus ilmu ushul fiqih, membahas tentang wayang maka sama halnya membahas tentang tradisi (adat) yang sudah menjadi sesuatu yang lumrah, turun temurun, dan bahkan menjadi kebiasaan masyarakat sebagai salah satu tontonan dalam acara tertentu.
Penetapan hukum berdasarkan alasan adat istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqih yang cukup banyak. Di antaranya,
العادة محكمة
“Adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’.”
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’.”
استعمال الناس حجة يجب العمل يها
“Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti”.
Kaidah hukum ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid al syari’ah (cita-cita agama). Betapa luwes, luas, dan dinamisnya hukum Islam jika kita bisa mengapresiasi teori ini.
Imam Syihabuddin al-Qarafi (wafat 1285 M), tokoh besar dalam mazhab Maliki, dalam bukunya yang terkenal al-Furuq, mengatakan,
“Manakala tradisi telah terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah kamu bersikap kaku terhadap sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu dari negeri lain dengan maksud meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu sampaikan fatwa berdasarkan tradisi negerimu.”
“Bertanyalah lebih dulu tentang tradisinya, dan berikanlah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas.”(Al-Qarafi, al-Furuq, I/176-177).
Dari beberapa kutipan di atas, dapat dipahami bahkan bisa kita saksikan bersama, bahwa wayang merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi (adat) di Indonesia, khusus pulau Jawa.
Oleh karena itu, tidak bijak kalau seorang da’i mempersoalkan hal-hal yang baik dari tradisi masyarakat setempat. Apalagi wayang ini sudah dijadikan medium dakwah oleh para wali songo pada zaman dahulu dan tentunya sudah mereka kaji secara serius untuk menentukan hukum perbuatan yang satu ini.