Banyak kalangan masyarakat khususnya warga Nahdiyin dan para santri mencium tangan kiainya saat bersalaman. Hal ini dilakukan dengan tujuan tabarruk semoga mendapatkan aliran barokah dari seorang guru atau Kiai.
Hal ini tentu legal bahkan disunnahkan dalam syari’at. Sebab, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mereka bertujuan untuk menghormati orang saleh, zuhud serta alim. Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab menyebutkan bahwa mencium tangan orang yang saleh, zuhud, alim dan yang semisalnya dari orang-orang ahli akhirat adalah sunah. Tetapi sebaliknya jika menjadi sangat makruh apabila kita mencium tangan seseorang karena kekayaannya atau kedudukannya di hadapan orang-orang senang dunia.
يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ وَالزَّاهِدِ وَالْعَالِمِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ اَهْلِ الآخِرَةِ وَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِهِ لِغِنَاهُ وَدُنْيَاهُ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا بِالدُّنْيَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَمَكْرُوهٌ شَدِيدَ الْكَرَاهَةِ
Artinya, “Disunahkan mencium tangan laki-laki yang saleh, zuhud, alim, dan yang semisalnya dari ahli akhirat. Sementara mencium tangan seseorang karena kekayaannya, kekuasaan dan kedudukannya di hadapan ahli dunia dan semisalnya, hukumnya adalah makruh dan sangat dibenci, (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo, Darul Hadits, 1431 H/2010 M, juz, VI, h. 27).
Bahkan hal ini sudah banyak dipraktekkan pada zaman Rasulullah Saw. Satu contoh, Ibnu Umar RA yang pernah mencium tangan Rasulullah SAW. Hal ini bisa kita lihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut ini:
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ فِي سَرِيَّةٍ مِنْ سَرَايَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ قِصَّةً قَال : فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah ikut dalam salah satu pasukan infantri Rasulullah SAW kemudian ia menuturkan sebuah kisah dan berkata: “Kemudian kami mendekati Nabi SAW dan mengecup tangannya,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah-Kuwait, al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Dar as-Salasil, cet ke-2, juz, XIII, h. 131)
Mengenai tujuan tabarrukan, As-Sarakhsi dan sebagaian ulama muta’akhhirin membolehkan untuk mencium tangan orang alim dalam rangka ini. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh az-Zaila’i dalam kitab Tabyinul Haqaiq Syarhu Kanzid Daqaiq.
وَرَخَّصَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ شَمْسُ الْأَئِمَّةِ السَّرَخْسِيُّ وَبَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ تَقْبِيلَ يَدِ الْعَالِمِ أو الْمُتَوَرِّعِ على سَبِيلِ التَّبَرُّكِ
Artinya, “Syaikh al-Imam Syamsul aimmah as-Sarakhsi dan sebagian ulama mutaakhkrin memberikan rukhshah dengan membolehkan mencium tangan orang alim atau wara dengan tujuan untuk bertabarruk” (Lihat az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarhu Kanzid Daqaiq, Kairo, Darul Kutub al-Islami, 1313 H, juz, VI, h. 25).
Demikian penjelasan mengenai hukum mencium tangan kiai dengan tujuan mengharap mendapatkan barokah. Semoga bermanfaat.