Kita ketahui bahwa dasar atau pedoman dalam menjalankan syariat adalah Al-Qur’an dan hadits. Sejak masa sahabat, tabi’in, tabiut tabiin dan setelahnya, dua dalil pokok inilah yang selalu menjadi objek ijtihad dalam mencetuskan sebuah hukum (istinbath ahkam).
Secara umum, dua dasar ini terbagi menjadi dua; ada yang bersifat qat’i (mengikat) dan ada yang bersifat dzanni (tidak mengikat). Dua referensi paling valid dan otoritatif ini kemudian memiliki cabang yang sangat banyak. Namun, yang paling pokok dari cabang-cabang tersebut ada satu pembahasan paling urgen yang sering menjadi penyebab perbedaan pendapat di antara ulama, yaitu dalil yang bersifat dzanni.
Pada dasarnya, setiap orang Islam memiliki keharusan untuk melakukan ijtihad seperti para imam Mujtahid. Namun, karena syarat-syarat menjadi mujtahid terlalu sulit untuk dimiliki oleh semua orang, maka hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan ijtihad. Dan, bagi yang tidak memiliki kapasitas sebagai mujtahid, memiliki keharusan untuk mengikuti (taklid) kepada pendapat imam mujtahid yang dihasilkan memalui ijtihad.
Dalil Mengikuti Para Ulama
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menjadi landasan pokok untuk mengikuti para ulama, di antaranya,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengethuan jika kamu mengetahui”
(QS. An-Nahl: 43)
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang boleh diikuti pendapatnya adalah mazhab empat, yang secara historis, semua teolog dan pendapatnya terkodifikasi, mereka adalah Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Imam Ibnu Hajar contohnya dalam kitab Fatawa al-Fiqiyah menyebutkan bahwa hanya pendapat empat madzhab inilah yang menyebar luas dan terbukukan. Meski pada kenyataannya masih banyak mazhab selain yang empat, di antranya adalah mazhab tabi’in, seperti Imam Hasan Bashri.
Syarat-syarat Taklid
Selain mengikuti salah satu di antara empat mazhab di atas, orang yang mengikuti (muqallid) tidak boleh menggabungkan dua pendapat dalam satu pekerjaan yang lebih dikenal dengan istilah “Talfiq“.
Istilah talfiq akhir-akhir ini memang sering diperbincangkan. Pasalnya praktek talfiq itu sendiri jarang diketahui oleh kebanyakan orang. Bahkan bisa jadi seseorang melakukan talfiq dalam bermazhab tanpa mereka sadari.
Syekh Dr. Wahbah Zuhailiy, ulama kontemporer asal Suriah, mendefinisikan talfiq sebagai upaya untuk melakukan suatu perbuatan yang tata caranya tidak dijelaskan oleh imam mujtahid. Dengan kata lain, talfiq diartikan dengan menggabungkan beberapa pendapat daripada mazhab-mazhab yang berbeda tentang suatu ibadah dan mengamalkannya bersama-sama.
Pembagian Talfiq
Jika ditelusuri lebih dalam,
talfiq terbagi menjadi dua bagian, (1) Talfiq dalam satu qodiyah; dan (2) Talfiq dalam dua qodiyah atau lebih.
Pertama, Talfiq dalam satu qodiyah, seperti seseorang berwudhu dengan cara hanya mengusap sebagian kepala saja dengan mengikuti pendapat Imam syafi’i. Kemudian dia menyentuh perempuan dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa menyentuh perempuan lain tidak membatalkan wudhu asal tidak syahwat. Kemudian dia shalat dengan kondisi ini.
Sholat semacam ini menurut kedua Imam Mujtahid ini dinyatakan tidak sah, karena menurut Imam Syafi’i shalatnya tidak sah disebabkan wudhu’nya telah batal. Imam Abu Hanifah juga menyatakan bahwa shalatnya tidak sah karena wudhu’nya belum sah (tidak mengusap seluruh kepala). Inilah yang disebut dengan talfiq dalam satu qodiyah.
Talfiq jenis ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Contohnya Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyati, dalam I’anah at-Thalibin beliau mengatakan bahwa mayoritas ulama mengharamkan. Namun ada juga yang memperboleh praktek talfiq semacam ini. Imam al-Adwiy, ad-Dasukiy sebagian dari Malikiyah, Ibn Hamim dari Hanafiyah, termasuk di antara orang yang memperbolehkan talfiq dengan pengertian seperti ini.
Kedua, talfiq dalam dua qodiyah atau lebih, seperti ber-wudhu’ dengan hanya mengusap sebaian kepala, kemudian dia shalat dengan menghadap ke arah kiblat, tanpa ada kepastian lurus dan tidak (mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah).
Talfiq jenis ini pada pengertian selanjutnya sering disebut dengan perpindahan (intiqalul) mazhab.
Talfiq dengen pengertian Intiqol Madzhab lebih dari satu qodiyah, mayoritas ulama memperbolehkan praktek ini. Namun ada juga ulama yang tidak memperbolehkan talfiq jenis ini, di antaranya, Imam Ibnu Hajar. Beliau merupakan salah ulama yang melarangnnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Abdurrahman dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin, Ibnu Hajar tidak memilah antara talfiq dalam satu qodiyah maupun dua qodiyah, semuanya sama-sama haram.
Berbeda dengan Ibnu Hajr, Ibnu Ziyad justru cenderung sepihak dengan yang mengatakan boleh dan menganggap pendapat Ibnu Hajr ini sebagai pendapat yang lebih Ikhtiyat (hati-hati). Beliau mengatakan;
القادح في التلفيق إنما يتأتى إذا كان في قضية واحدة، بخلافه في قضيتين فليس بقادح، وكلام ابن حجر أحوط
Artinya, “Yang jelek (haram) dalam talfiq ketika dalam satu qodiyah, berbeda jika dalam dua qodiyah maka tidak dianggap haram. Sedangkan pendapat Ibnu Hajar merupakan pendapat yang lebih hati-hati. (Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, juz I, halaman 15).
Bagi penulis, jika mengikuti pendapat Ibnu Hajar, maka otomatis mengharamkan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, yakni Intiqalul (perpindahan) mazhab. Oleh karenanya, menurut Sayyid Abdurrahman, pendapat Ibnu Ziyad ini merupakan bentuk belas-kasih kepada orang awam.
Dari dua macam talfiq di atas, kita bisa membedakan talfiq yang haram dilakukan dan talfiq yang boleh dilakukan.
Terlepas dari masalah talfiq, para ulama juga mewanti-wanti agar tidak mengambil mudah dalam menjalankan syari’at (tatabu rukhas). Meski tatabu rukhas juga masih terjadi perkhilafan, akan tetapi alangkah baiknya tidak dilakukan selagi tidak dalam keadaan mendesak.
Satu pesan sufi mengatakan, “Berfatwalah dengan pendapat yang mudah kepada masyarakat, akan tetapi dalam pengamalan pada diri sendiri harus memilih pendapat yang berat. Jangan sebaliknya”.
Wallahu A’lam bisshawab