Bahasa Arab selain bahasa surga, sastra yang ada di dalamnya sangat indah sekali. Saat kita belajar ilmu balaghah, sedikit banyak kita akan tahu betapa indahnya bahasa Arab. Tak heran bila bahasa Arab banyak dipelajari oleh berbagai kalangan-hingga non muslim sekaligus-karena keindahan sastranya. Sastra Arab yang sangat fenominal adalah Syair dan Maqamat.
Syair sudah dikenal bahkan sejak sebelum islam datang. Syair Arab menjadi kebanggaan masyarakat Arab khususnya dan dunia pada umumnya. Penyair-penyair Arab sebelum Islam akan diangung-angungkan dan dihormati, bahkan karya mereka akan dipajang digantungkan pada ka’bah beberapa waktu.
Nama-mana penyair Arab klasik yang kita kenal antara lain Imru Al-Qais, Tharafah bin Al-Abd’, ‘Amar bin Kultsum, Anzah bin Syaddad dan Harits bin Khalzah. Merekalah yang disepakati oleh Al-Zauzani (w. 1093 M) sebagai penyair kondang pada masa jahiliyah. Syair seakan menjadi ciri khas bangsa Arab kala itu. Dengan keindahan sastra, sajak dan makna yang ada di dalamnya menjadikan syair seakan seperti permata yang menghiasi penyairnya. Agar lebih mudah menggambarkan keindahan syair Arab, saya kutip potongan syair:
أفاطم مهلا بعد هذا التذلل * وإن كنت قد أزمعت صرمي فاجملي
Hai Fatimah, tunggulah sebentar, coba dengarkanlah kata-kata ini, apakah kau akan memutuskan cintaku ini, setelah kau mencintaiku dengan sepenuh hati?
Pada masa itu, syair-syair dibuat dan disenandungkan tanpa ada kaidah-kaidah dan ketentuan tertentu. Hingga datanglah Imam Kholil (100-170 H), seorang sastrawan terkenal di zamannya mencetuskan Ilmu Arudh. Ilmu Arudh inilah yang menentukan sahih dan fasid sebuah karangan syair melalui kaidah-kaidahnya. Dalam Ilmu Audh kita mengenal istilah bahar-bahar seperti bahar rajaz, kamil, dan lain-lain.
Dalam literatul bahasa Arab, kita mering menyebut kalam bersajak seperti ini dengan istilah nadzom atau syair. Syair dan nadzom sebenarnya merupakan satu kesatuan. Namun, sedikit terdapat perbedaan antara keduanya, syair lebih lembut daripada nadzom. Biasanya syair merefleksikan perasaan si penyair. Beda hanyal dengan nadzom yang dirangkai tanpa rasa lembut, khayalan, ataupun refleksi sebuah rasa.
“Syair jika di dalamnya tidak ada unsur rasa, kelembutan atau hikmah maka itu hanyalah taqti’ (potongan) dan awzan nadzom.” Tutur Imam Syauqi dalam membedakan antara nadzom dan syair.
Yang tak kalah indah dari syair, bahkan dalam segi maknanya tidak lain dan tidak bukan adalah Maqamat. Maqamat adalah bentuk ekspresi seni yang mengedepankan hikayat-hikayat penuh hikmah, anekdot penuh hikmah, dan tak lupa disertai bahasa yang indah dengan tingkat sastra tertinggi. Selain itu, maqamat juga menjadi sebuah media kritik oleh para sastrawan. “Mereka makan dan minum. Mereka mengisahkan petuah orang saleh, tappi tidak meneladaninya. Pakaian mereka pakaian orang saleh, tapi hati mereka bukan hati orang saleh”. Itulah sepenggal kritik Ibnul Wardi dalam maqamat-nya terhadap para sufi di zamannya.
Maqamat secara bahasa berarti majelis. Al-Qalqasyandi dalam Shubhul A’sya jilid 14 mendefinisikan maqamat sebagai “Hikayat berprosa dinamakan dengan maqamat karena ia bisa membuat orang berkumpul dalam sebuah majelis”. Maqamat selalu menggunakan kosa kata yang jarang dipakai. Namun bagi orang-orang tertentu yang mengerti bahasa Arab, kosa kata maqamat selalu bisa diraba meski tidak tahu persis artinya.
Maqamat diciptakan sebagai sebuah istilah pertama kali oleh Badi’uzzaman Al-Hamadzani (w.1008 M). Ia menciptakan empat ratus maqamat dengan berbagai tema, mulai dari kisah-kisah tentang hakim adil, raja zalim, hingga orang cerdik. Jejak Badiuzzaman ini dilanjutkan oleh Az-Zamakhsyari yang hidup setelahnya.
Maqamat yang sangat terkenal sekali dalam literatur bahasa Arab adalah maqamat-nya Al-Hariri. Saking indahnya, seorang orientalis pernah mengklaim bahwa keindahan bahasa dalam maqamat Al-Hariri lebih indah daripada Al-Qur’an. Tentu hal ini terbukti salah karena Al-Qur’an adalah mu’jizat yang tak tertandingi. Namun tidak bisa dipungkiri maqamat Al-Hariri memang begitu indah. Maqamat Al-Hariri ini berkisah tentang petualangan Haris b. Hammam berkeliling kerajaan-kerajaan muslim di zaman itu. Dikatakan bahwa maqamat yang indah itu mengandung kosa kata Arab yang beberapa sudah punah. Berikut salah satu paragraf dalam maqamat Al-Hariri:
اَلْجَأَنِي حُكْمُ دَهْرٍ قاسط، إلى أَنْ أَنْتَجِع أَرْض وَاسِط، فَقَصَدْتُهَا وَأنَا لَا أَعْرِفُ فِيهَا مَسْكَنًا، وَلَا أَمْلِكُ مَسْكَنًا الخ
“Zaman yang kejam membawaku ke kota Qasith. Aku memasuki kota itu dan tidak tahu harus ke mana, dan aku pun tak memiliki rumah… dan seterusnya”
Itulah syair dan maqamat sebagai sastra Arab yang sangat indah. Bagi saya, rasanya kurang belajar bahasa Arab jika belum menguasi keduanya secara mendalam. Keindahan kosa kata dan makna dari kedua bentuk sastra itulah yang membuat saya banyak tertarik mempelajari bahasa Arab khususnya dari segi sastranya.