Hasan bin Ziyad sangat menyukai majelis ilmu yang diisi oleh Imam Abu Hanifah r.a. Setiap saat ia selalu hadir di majelis Imam Abu Hanifah r.a. Suatu ketika ayahnya menemui beliau dengan maksud mengeluhkan keadaan ekonominya yang pas-pasan.
Dia berkata, “wahai Imam Abu Hanifah. Hasan anakku selalu hadir dalam majelismu, sedang diriku punya banyak anak perempuan, dan Hasan adalah tulang punggung bagi kami.”
Imam Abu Hanifah lalu berkata kepada Hasan, “Ayahmu berkata ini itu padaku. Namun, jangan khawatir! Tetaplah menghadiri majelisku karena tidak pernah kulihat seorang yang mendalami ilmu agama dengan sungguh-sungguh kemudian jatuh miskin.”
Imam Abu Hanifah kemudian menafkahi Hasan bin Ziyad beserta keluarganya. Setelah Hasan belajar sekian lama pada Imam Abu Hanifah. Ia pun bekerja dan rezekinya justru melimpah karena keberkahan majelis gurunya.
Kisah tersebut kami peroleh dari Manaqib al-Imam al-Adzam as-Syaikh Ibnul Bazzar al-Kurdi. Di lain waktu kami pernah mendengar guru kami bercerita, tentang santri yang ketika sehabis dikirim (ditengok), dalam beberapa hari setelahnya uangnya langsung dihabiskan. Bukan hanya untuk memenuhi perutnya. Tetapi makanan-makanan yang ia beli selama itu diberikan kepada teman-temannya. Lalu setelahnya? Entah dari manapun itu jalannya, pasti ia bisa memenuhi kebutuhannya di pesantren sampai datang waktu kiriman selanjutnya. Lantas dari manakah ia bisa makan? Membeli kebutuhan lainnya?
Di lain kesempatan pun guru kami yang lain (guru yang berbeda dari yang disebutkan sebelumnya) menceritakan perihal Nabi Musa yang diperintah Allah untuk memukul batu besar sampai hancur. Nabi Musa pun menjalani perintah tersebut dan setelah beberapa kali memukul, betapa terkejutnya Nabi Musa ketika mendapati di dalam batu tersebut hiduplah seekor cacing kecil. Pertanyaannya: dari manakah hewan tersebut memperolah makanan?
Dari tiga kisah di atas, kami teringat pelajaran Hadis Arbain (Imam Nawawi). Kami teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Hafs dari Rasulullah SAW, yaitu tentang awal mula penciptaan manusia. Dan ketika embrio sudah menjadi segumpal daging (مضغة) kemudian setelah proses itu, Allah akan mengutus malaikat agar menentukan amal, kematian, rezeki, dan dijadikan seorang yang celaka atau selamat, kemudian barulah ditiupkan ruh pada calon bayi tersebut (hadis shahih Bukhari).
Hadis di atas ada hubungan dengan tiga kisah yang telah kami tulis. Yaitu tentang rezeki. Sebenarnya semua makhluk sudah diberi jatah rezekinya masing-masing oleh Allah. Bahkan seumpama ada seseorang yang hanya diberi rezeki 10 juta jika dikalkulasikan, maka ketika ia telah menghabiskan uang dengan jumlah itu, akan selesailah hidupnya di dunia ini. Jadi, sebenarnya seseorang kalau belum sampai taraf finish rezekinya, pasti dari manapun akan mendapat jatahnya. Ketika tidak makan, pasti kalau masih ditakdirkan hidup, ia akan memperoleh makanan untuk menyambung hidupnya.
Apalagi kita para santri. Kami tekankan statemen ini, sebab kami pernah menemukan dalam kitab Ta’lim Mutaallim (Syekh az-Zarnuji) sebuah hadis: “Barang siapa yang menuntut ilmu agama Allah, maka Allah mengabulkan keinginan dan rezekinya melalui cara yang tidak disangka-sangka.” Diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Hasan az-Zabidi sahabat Rasulullah. Syekh Ibrahim bin Ismail, yang mensyarahi kitab tersebut mengungkapkan: mereka yang akan menjadi orang berpengetahuan tentang hukum-hukum syariat. Yang dimaksud tidak disangka-sangka jelas melalui hal-hal tidak terduga.
Tapi sesederhana itukah masalah rezeki? Seseorang yang terus mencari ilmu dan tidak bekerja secara rasio bisakah akan terus memenuhi kebutuhan hidupnya?
Syekh az-Zarnuji menempatkan posisi hadis di atas pada pembahasan tawakal bagi para pencari ilmu. Kami buka kitab Ihya Ulumuddin (Imam Ghazali) tawakkal ialah ungkapan menggantungkan hati terhadap wakil (Allah) saja. Kemudian Imam Ghazali membagi tawakkal menjadi tiga derajat. Derajat pertama, seorang yang bertawakkal: mempercayai dirinya selayaknya terhadap wakil. Filosofi semacam ini, masih dapat diketahui kondisi si wakil oleh si muwakkil (yang menyerahkan perwakilan) – kemungkinan si muwakkil bisa berpaling pada orang lain. Derajat kedua (derajat paling kuat), seorang yang seperti bayi di hadapan ibunya. Filosofi semacam ini, kondisi seseorang yang bergantung hanya kepada Allah semata, sebab sebagaimana seorang bayi yang hanya merengek dan mengenali ibunya saja. Dan derajat paling puncak, seorang yang seperti mayat di hadapan orang yang memandikannya. Filosofi semacam ini, berarti bahwa seseorang: semua ihwal dirinya dikendalikan oleh Allah semata seperti orang yang memandikan mayatlah yang menggerakkan tubuh mayat.
Dari analisis di atas. Dapat kami simpulkan: selayaknya kita seorang santri/pencari ilmu janganlah pusing memikirkan rezeki. Sebab semua telah dicatat oleh Allah. Sebelum kita lahir ke dunia ini. Dan telah dijamin akan memperoleh rezeki dari jalan yang tidak terduga-duga. Inilah dua alasan yang menjawab pertanyaan dari cerita-cerita di atas. Kalau pertanyaan tentang rezeki, maka jawabannya sampai di manakah derajat tawakkal kita