Diantara bulan yang dimuliakan Allah Swt adalah bulan Sya’ban. Di dalam bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia pula. Malam tersebut adalah malam nisfu sya’ban (tanggal 15 Sya’ban), Malam yang penuh berkah dan rahmat Allah Swt. Pada malam nisfu sya’ban, semua ummat islam berlomba-lomba menghidupkan malam tersebut dengan ibadah. Merayakan malam nisfu sya’ban dengan ibadah seakan menjadi agenda tahunan ummat islam di dunia.
Malam nisfu sya’ban merupakan malam yang mulia selain malam lailatul qadar. Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyah mengatakan:
والحاصل أن لهذه الليلة فضلا وأنه يقع فيها مغفرة مخصوصة واستجابة مخصوصة ومن ثم قال الشافعي رضي الله عنه إن الدعاء يستجاب فيها
Artinya, “Kesimpulannya, bahwa malam nisfu sya’ban ini memiliki keutamaan. Di dalamnya terdapat ampunan khusus dan terkabulnya doa secara khusu. Oleh karenanya as-Syafi’I berkata: Doa dikabulkan di malam nisfu sya’ban.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Vol., hal 80)
Awal Mula Perayaan Malam Nisfu Sya’ban
Syekh Abdullah Muhammad al-Ghumari menceritakan awal mula perayaan malam nisfu sya’ban dalam kitab Husnul Bayan Fi Bayani Nisfi Sya’ban.
كان بدء الإحتفال بهذه الليلة أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومحكول ولقمان بن عامر وغيرهم كانوا يعظمونها ويجتهدون في العبادة فيها
Artinya, “Awal mula perayaan malam (nisfu sya’ban) ini berawal dari kalangan Tabi’in penduduk negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lainnya. Mereka mengagungkan malam itu dan bersungguh-sungguh dalam ibadah di dalamnya,”. (Abdullah al-Ghumari, Husnul Bayan Fi Bayani Nisfi Sya’ban, hal 9)
Hal itu disambut oleh masyarakat Syam dengan sangat antusias dan akhirnya tersebar ke berbagai negara Islam. Hingga kemudian apa yang dilakukan para Tabi’in tersebut menuai perselisihan diantara para ulama. Golongan penduduk Bashra dan yang lain sepakat dan mengikuti apa yang dilakukan oleh para Tabi’in tersebut. Sementara kebanyakan ulama Hijaz menentang perayaan tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Diantara ulama Hijaz itu adalah Imam ‘Atha, Ibnu Abi Malikah dan para fuqaha dari kota Madinah.
Selanjutnya ulama dari Syam berbeda-beda dalam melakukan ibadah malam Nishfu Sya’ban. Sebagian mereka, seperti Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lainnya, menganjurkan dilakukan secara berjamaah di masjid. Mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid. Hal ini juga diikuti oleh Ishaq bin Rahuwaih dan beliau mengatakan bahwa hal ini bukan termasuk bid’ah. Sebagian yang lain mengatakan dimakruhkan berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang salat (sunah mutlak) sendirian di malam tersebut. Ini adalah pendapat al-Auza’i, imam ulama Syam, ahli fikih yang alim.