Kata Wahabiyah dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahhab Sulaiman an-Najdi yang lahir pada tahun 1115 H. (1703 M) dan wafat pada tahun 1206 H. (1792 M.). Ia wafat di usia yang sangat tua sekitar umur 91 tahun. Muhammad ibnu Abdul Wahhab Sulaiman an-Najdi bermazhab Hambali dan belajar ilmu agama dari ayahnya yang merupakan seorang ulama kharismatik bermazhab Hambali serta menjadi Qodhi (Hakim) di distrik Uyainah, Najd. Ia juga pernah mengaji kepada beberapa guru agama di Mekah dan Madinah, seperti Muhammad Hayat as-Sindi dan lain-lain.
Pengetahuan agamanya kurang memadai, karena ia belajar ilmu agama dari segelintir guru saja, termasuk ayahnya sendiri, dan waktu belajarnya pun sangat minim dan terputus-putus. Kenyataan ini diakui oleh beberapa ulama Wahabi, diantaranya Dr. Muhammad al-Mas’ari dalam kitabnya yang berjudul al-Kawasyif al-Jahliyyah fi Kufri ad-Daulah as-Su’udiyyah, dan kitab ulama-ulama Wahabi yang lain seperti ad-Durar as-Saniyyah. Kemudian Kakaknya pun yang bernama Sulaiman ibnu Abdul Wahab mengkritik fahamnya yang nyeleneh dengan begitu pedas, melalui dua kitabnya yaitu ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Radd ala al-Wahhabiyah dan kitab Fashlu al-Khatib fi ar-Radd ala Muhammad ibni Abdil Wahhab. Dua kitab itu dirasa penting beliau tulis, melihat adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam dan akidah umat secara umum, terlebih dari faham Imam Ahmad ibnu Hambal sebagai mazhab Ahlussunah wal Jamaah keempat yang banyak dianut penduduk Najd, Saudi Arabia, pada masa itu.
Pada tahun 1143 H. Muhammad ibnu Abdul Wahhab mulai menampakkan dakwah ajaran barunya, di desanya sendiri yaitu Huraimila. Ia mengingkari apa yang dilakukan orang-orang Islam berupa bid’ah, syirik dalam ucapan dan perbuatan, serta pengkafiran-pengkafiran yang lain. Akan tetapi ayahnya bersama para Masyaikh dan guru-guru besar di sana berdiri tegak untuk menghalau kesesatan itu. Mereka membongkar kebatilan ajarannya, sehingga dakwahnya menjadi tidak laku.
Barulah ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H. Ia leluasa untuk menyebar kembali ajarannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tahu banyak tentang agama, sehingga mereka dengan mudah mau mengikuti ajakannya dan mendukungnya.
Karena kehadiran ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahhab di desanya yaitu Huraimila, masyarakat pun bangkit dan hampir-hampir membuat Muhammad ibnu Abdul Wahhab terbunuh. Kemudian, ia melarikan diri ke kota Uyainah. Di sana ia merapat kepada Amir (penguasa) kota tersebut dan menikahi gadis dari salah seorang kerabatnya. Dari sanalah ia memulai kembali dakwah pencetusan bid’ah terhadap kalangan masyarakat. Namun tidak lama kemudian, masyarakat Uyainah keberatan dengan ajarannya, sehingga mereka mengusirnya dari kota tersebut. Tak habis pikir Muhammad ibnu Abdul Wahhab pun pergi meninggalkan kota Uyainah menuju Dir’iyah di sebelah timur kota Najd.
Di kota Dir’iyah, ia mendapat dukungan penuh dari Amir (penguasa) kota tersebut yaitu Muhammad ibnu Sa’ud, sehingga masyarakat di sana pun menyambut ajarannya dengan hangat. Saat itu, Muhammad ibnu Abdul Wahhab bertingkah seperti seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu, maupun yang sezaman dengannya. Sementara itu, semua tahu bahwa ia sangat tidak layak untuk mensejajarkan dirinya di barisan para ulama mujtahidin.
Pada tahun 1744 sejak adanya upacara sumpah penetapan Ibnu Sa’ud sebagai Amir (penguasa) dan Muhammad ibnu Abdul Wahhab sebagai imam urusan agama. Sebagai tonggak awal perjuangan dakwahnya, akhirnya paham yang dipelopori oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab dinamai Wahabi yang diambil dari nama pendirinya. Sejak saat itulah paham ini terus meluas.
Penulis : Moh. Rosul, santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil.
Editor : Doifur Rohman