Sakit yang memperbolehkan membatalkan puasa Ramadan ada dua macam. Yang pertama adalah sakit yang bisa sembuh. Diwajibkan meng-qadha’ jika bisa mengqadha seperti musafir dan orang hamil. Apabila tidak bisa mengqadha’ seperti sakitnya berlanjut sampai Ramadan berikutnya lalu meninggal, maka tidak wajib qadha’ dan tidak wajib fidyah. Sakit yang pertama ini, bisa membatalkan atau tidak puasa dengan catatan jika menjalani ibadah puasa sakitnya bertambah, ada efek negatif dan berakibat pada kematian. (Bughyatul Musytarsidin hal. 112)
Menurut Syaikh Nawawi al-Bantenni ada tiga kondisi yang harus diperhatikan ketika sakit: Pertama, Apabila ada dugaan timbul dharar atau bahaya yang memperbolehkan tayammum, maka dimakruhkan berpuasa dan boleh membatalkannya. Kedua, Apabila timbul dugaan kuat pasti terjadi bahaya dan berakibat fatal pada tubuh serta berujung pada kematian, maka hukumnya haram berpuasa dan wajib membatalkannya. Jika tetap berpuasa dengan kondisi demikian lalu meninggal, maka berarti meninggal dalam keadaan maksiat. Ketiga, ketika sakit yang dirasakan tidak terlalu parah seperti sakit kepala, sakit telinga dan gigi, maka tidak boleh membatalkan puasa kecuali takut sakitnya bertambah. (Kasyifatus Saja, Dar al-Kutub al-Ilmiyah hal. 252)
Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi dalam kitab Fathul Qaribnya menyebutkan, orang sakit jika sakitnya mutbiq (berkelanjutan) boleh tidak niat di malam hari. Apabila tidak mutbiq semisal (suhu tubuh) panas di suatu waktu namun tidak di waktu yang lain, maka di waktu (suhu tubuh) panas boleh meninggalkan niat. Jika tidak panas, maka wajib niat puasa di waktu malam. Ketika panasnya kembali dan perlu membatalkan puasa, maka boleh membatalkannya. (Fathul Qarib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah hal. 57)
Adapun sakit kedua adalah sakit yang tidak bisa sembuh. Menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Sakit ini tidak mewajibkan puasa. Tapi, wajib membayar fidyah satu mud setiap harinya dan tidak wajib qadha’. Menurut beliau fidyah ini adalah kewajiban yang pertama bukan sebagai pengganti puasa. (Fathul Muin, al-Haramain hal. 57)
Namun, menurut Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiah al-Baijurinya dan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba Alawiy dalam kitab Bughyatul Musytarsidinnya sakit yang kedua ini harus ada vonis dari dokter yang menyatakan bahwa sakitnya memang permanen tidak bisa disembuhkan. Selain itu, jenis penyakit yang diderita mutlak tidak tertentu hanya pada satu penyakit. Jenis penyakitnya pun berbeda-beda jika dikaitkan dengan hukum. Contoh penyakit encok tidak bisa berdiri dalam sholat namun bisa puasa atau sakit yang tidak bisa memungkinkan puasa namun bisa sholat berdiri, maka yang wajib adalah yang bisa dilakukan. Wa Allahu A’lam. Semoga bermanfaat.