Oleh: RKH. Nasih Aschal*
Orang Madura mempunyai adagium begini: “Lah papenteren, sampek bisa ngoker langgek, mun tak andik andhep ashor tade’ ghunanah” (sepandai apapun seseorang jika tidak punya etika niscaya tak akan berguna). Ucapan orang-orang terdahulu walau terkadang dipandang tidak punya referensi klasik atau berasal dari nash sharih, pada dasarnya tidak bertentangan dengan kaidah syariat yang berlandasan al-Quran dan al-Hadits. Rasulullah sendiri diutus, salah-satunya adalah memperbaiki moral umat. Mengdepankan titik urgen yang berupa adab (tatakrama).
Seorang pakar Hadits, al-Imam Malik suatu ketika pamit kepada ibunya untuk menuntut ilmu, lalu ibunya menyarankan agar terlebih dahulu medatangi imam Rabi’ah Ibnu Abi Abdirrahman untuk belajar etika. Seraya ibunya berkata “Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya”.
Konon, sewaktu Imam Ahmad bin Hanbal menjadi Ulama besar, diantara lima ribu jamaah yang hadir, hanya sekitar lima ratus orang yang mencatat pelajaran darinya. Selebihnya dari lima ratus itu lebih pada hanya menimba etika dan mengambil contoh dari keluhuran adab dari seorang Imam Ahmad yang ahli Hadits. (ad-Dzhabi, Siyaru a’lamin Nubala’ jus XI/316)
Mukhlad bin al-Husain pernah berkata kepada Ibn al-Mubarok: “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai Hadits”. Ibn Mubarok sendiri juga pernah menyampaikan hal yang agak mirip: “ Kami mempelajari tentang adab selama tiga puluh tahun. Sedangkan mempelajari ilmu selama dua puluh tahun”.
Beberapa kisah di atas menegaskan bahwa di zaman digital kita saat ini harus selalu menjaga dan mempertahankan urusan etika terhadap siapapun. Hari ini yang berkaitan dengan etika sudah mulai mengurang atau bahkan bisa dikatakan runtuh. Hal ini bisa saja disebabkan ketidakpedulian kita sendiri terhadap generasi berikutnya. Para pemegang kebijakan selalu sibuk untuk terus berupaya meningkatkan skill agar sekiranya generasi bangsa bisa bersaing dalam masalah otak dan keterampilan kerja dan tidak lupa untuk memperbaiki etika.
Akhir-akhir ini sering kita dengar bahkan kita melihat dengan mata telanjang, anak-anak muda dengan entengnya tidak lagi menghormati yang lebih tua. Bahasa hapus pun jarang kita dengar dari para remaja. Entah ini apa karena pengaruh zaman atau karena ada faktor lain. Namun yang jelas ketika kita telisik di pedesaan saat ini, bahwa anak seumur SD sudah jarang mengucapakan “Glenun” atau “Pangaporah” ketika hendak lewat didepan rumah seseorang. Ditambah lagi yang memakai sepeda motor, dengan tidak menggubris siapa sebenarnya yang ada atau duduk di pinggir jalan. Fenomena yang saya sebut ini adalah fakta yang tak terelakkan.
Saya sangat ingat sekali sewaktu masih kecil dulu, banyak sekali anak-anak yang sama orang tuanya diajari untuk mengucapkan “Glenun” ketika hendak ziarah kubur dan ketepatan ada orang yang duduk di pinggir jalan. Andhap ashor, atau membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua selalu ditanamkan dalam jiwa. Hal ini sangat kontras sekali dengan pemandangan ‘hari ini’, dimana semua itu sudah mulai runtuh.
Dari sinilah, kita jangan hanya fokus menjadikan seorang menjadi orang cerdas, tapi tidak punya etika yang baik. Bukan hanya mencetak anak pintar, tapi harus menjadikan mereka adalah orang yang benar. Dan ini harus dimulai dari kita saat ini. Saya ingat apa yang disampaiakn oleh Imam Hasan al-Bashri “Ingatlah,! Bahwa engkau adalah putaran waktu. Ketika satu hari saja berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu”. Ungkapan itu sangat bermakna. Artinya memang kita tidak boleh menunda-nunda waktu untuk terus berusaha dalam memberi arahan kepada generasi generasi dibawah kita. Jika kemudian usia di atas kita, sudah sulit untuk berubah, paling tidak harus dipangkas mata ratai agar tumbuh benih-benih penuh agamis.
Sebab itulah, tugas berat pondok pesantren, lembaga formal dan semua institusi pendidikan, sudah saatnya tidak hanya memikirkan intelektual belaka, akan tetapi bagaimana sekiranya seorang anak didik terus menjadi perhatian yang sangat serius dalam urusan tarbiyah (mendidik intelektual dan moral). Etika anak-anak kita betul-betul memperihatinkan. Segaul apapun dan sejenius apapun jika etika bukan nomor wahid, semuanya menjadi impossible.
Teringat sebuah cerita yang cukup masyhur, bahwa Syaikhona Kholil rela membuka klompennya dari jarak kurang lebih 7 kilo meter menuju majelis taklim tempat mengaji. Lho kenapa? Alasannya cukup sederhana; khawatir mengganggu gurunya yang sedang istirahat yang dapat menyakiti hati. Kolot? Tidak! Ini adalah sebuah bukti nyata implementasi dari hadits Rasulullah, bahwa diutusnya untuk menyempurnakan akhlaq manusia dimuka bumi ini.
Begitu juga cerita ibn Abbas dan zaid bin Tsabit. Keduanya merupakan sosok sahabat yang sangat hebat dan istimewa berkualitas tinggi. Zaid merupakan sahabat cerdas yang ada pada zaman Rasullullah dan dipercaya sebagai penulis wahyu yang diturunkan kepada Nabi. Ia adalah sekretaris pribadi Nabi yang keulamaanya diakui. Ibnu Abbas juga tak kalah hebat mengenai hal ini. Putra Abbas bin Abd Muthallib ini memiliki wawasan luas, banyak hadits keluar melalui riwayatnya yang begitu detail dan rinci. Yang paling menonjol Ibnu Abbas adalah sepupu dari Nabi.
Alkisah, sepulang dari menshalati janazah ibundanya, Zaid bin Tsabit pulang dengan menunggangi Bighal. Tiba tiba Ibnu Abbas menuntun dan memegang kendali tunggangan tersebut sebagai bentuk penghormatan, “ Lepaskan wahai putra paman Rasulullah” kata Zaid bin Tsabit. “ Beginilah kami memperlakukan ulama” jawab Ibnu Abbas. Lalu tiba tiba Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata “ Beginilah kami diperintah memperlakukan keluarga nabi” ini adalah sikap balasan ketawadlu’an Ibnu Abbas, kerendahan hati dibalas kerendahan hati.
Kisah ini memberikan inspirasi bagi siapapun yang mempunyai kebersihan hati. Tidak congkak dengan ilmu yang dimiliki.
Apalagi sampai mengakui dirinya adalah seorang yang patut untuk dihormati. Merawat dan mempertahankan Andhap Asor perlu kejernihan nur ilahi. Terkadang berat untuk mengakui bahwa seseorang itu mempunyai kwalitas lebih dan mumpuni. Akan tetapi ketauladan bukan berarti menghina diri. Adalah tugas kita semua sebagai santri untuk terus mengeja aksara dan meluruskan hati. Untuk terus berbenah dari segala lini. Cerita Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit serta cerita Syaikhona Kholil bukan bacaan yang dipahat tak disentuh, namun harus menjadi rujukan dan aplikasi dalam kehidupan ini. Menurut hemat saya, caritas di atas adalah sebagai rem, agar hidup ini ada titik koma yang bisa menghentikan dari segala penyakit yang merasuk dalam diri. Bahwa menghormati orang lain adalah niscaya dan berarti. Menghormati orang lain bukan menghina diri, akan tetapi menunjukan akan keluasan ilmu yang dimiliki.
Kiranya sudah saatnya semua elemen terkait, untuk tidak hanya membersihkan otak dari virus kebodohan. Akan tetapi bagaimana jiwa ini tidak kering dari sikap andhep ashor. Memang sangat tidak adil masalah sekomplek ini hanya dibebankan terhadap institusi pondok pesantren atau lembaga-lembaga lainnya yang aktif mendidik para anak bangsa ibu pertiwi.
Semua elemen masyarakat harus mempunyai andil besar guna menjadikan generasi bangsa ini mempunyai wawasan ilmu yang banyak dan etika berbasis agama. Bagi saya Indonesia tidak kekuarangan orang pintar dan generasi cerdas. Yang sangat berkurang di negeri ini adalah, orang yang mempunyai etika dan kelembutan hati. Jangan runtuhkan andhap Asor karena ulah kita sendiri. Madura, dari dulu sampai saat ini masih kental dengan adeb (tatakrama) sebagai cerminan keluasan pengalaman dan kerendahan hati. Mari bersama sama menjaga dan merawat negeri ini dengan keindahan moral dan intelektual berkelas menuju negeri yang makmur, berkah serta bersih dari agitasi yang melululantahkan negeri tercinta ini. salam Andhap Asor.
*Ketua Umum Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil
Ketua IPHI Bangkalan
Anggota DPRD Provinsi Jatim F. Nasdem