Sering kali kita temukan setelah sholat membaca kalimat tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali. Baik dalam sholat berjamaah atau sendiri, di masjid ataupun di mushola. Maka dari itu perlu kiranya penulis membahas prihal amaliyah setelah sholat tersebut.
Ulama telah sepakat bahwasanya membaca dzikir setelah sholat itu disunahkan. Banyak hadits-hadits shohih yang menerangkan kesunahan tersebut. Salah satunya bisa kita temukan dalam redaksi hadist pada kitab Al-Adzkar karya Syaikh Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi.
من سبح الله دبر كل صلاة ثلاثا وثلاثين وحمد الله ثلاثا وثلاثين وكبر الله ثلاثا وثلاثين وقال تمام المائة لا إله إلا الله وحده لاشريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير غفرت خطاياه وان كانت مثل زبد البحر
Artinya: “Barangsiapa yang membaca tasbih (سبحان الله) setelah sholat sebanyak 33 kali, tahmid (الحمد لله) sebanyak 33 kali, takbir (الله اكبر) sebanyak 33 kali, lalu pada hitungan ke 100 nya diakhiri dengan membaca: لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير maka dosa-dosanya akan diampuni walaupun seperti buih di lautan.
Redaksi serupa juga dapat ditemukan pada kitab Mau’idzotul Mukminin min Ihya ‘Ulumuddin karya Syaikh Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id al-Qosimy.
قال ﷺ من سبح دبر كل صلاة ثلاثا وثلاثين وحمد ثلاثا وثلاثين وكبر ثلاثا وثلاثين وختم المئة بلا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير غفرت ذنوبه.
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca tasbih (سبحان الله) setelah sholat sebanyak 33 kali, tahmid (الحمد لله) sebanyak 33 kali, takbir (الله اكبر) sebanyak 33 kali, lalu pada hitungan ke 100 nya diakhiri dengan membaca: لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير maka dosa-dosanya akan diampuni.
Amaliyah-amaliyah seperti membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah sholat, puasa Rajab, puasa Sya’ban dan lainnya sering ditentang bahkan sampai diharam-haramkan oleh kelompok tertentu dengan alasan dalil amaliyah tersebut bersumber dari hadits dloif.
Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan sebagai berikut:
وقد اتفق الأئمة من المحدثين والفقهاء وغيرهم كما ذكره النووي وغيره على جواز العمل بالحديث الضعيف في الفضائل والترغيب والترهيب، لا في الأحكام ونحوها ما لم يكن شديد الضعف.
Artinya: “Para pemuka hadits, fiqh dan lainnya seperti yang telah dikatakan Imam Nawawi dan ulama lainnya atas kebolehannya mengamalkan hadits dloif dalam keutamaan, menyenangkan dan menakut-nakuti. Namun tidak diperbolehkan dalam hukum dan sejenisnya, selagi hadits tersebut tidak sampai pada kategori hadits yang sangat lemah”
Senada dengan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud yang menjelaskan bahwa kebolehan ini sering dilakukan oleh ulama-ulama dalam hal keutamaan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah Swt dengan semangat beribadah.
Referensi:
📒 Syaikh Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id al-Qosimy | Mau’idzotul Mukminin min Ihya ‘Ulumuddin
📒 Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki | Ma Dza fi Sya’ban
📒 Syaikh Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarifuddin an-Nawawi | al-Adzkar
Penulis : Dhoiff Ahmad
Editor : Ismail