Pada priode awal datangnya Islam, tepatnya pada masa Rasulullah, Islam didakwah secara bertahap; mulai dari secara sembunyi, kemudian terang-terangan, hingga ada yang berujung pada peperangan. Tahapan itu tidak lain selain untuk mengajarkan kepada umat setelahnya, bahwa tidak ada istilah pemaksaan untuk memeluk agam Islam. Ada beberapa opsi yang perlu dipedomani dalam mendakwahkan ajarah Islam.
Pada priode awal, Allah swt memerintahkan Rasulullah untuk mendakwahkan Islam dengan cara yang santun, penuh hikmah dan bijaksana, hal itu sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (النحل:125)
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS An-Nahl: 125).
Syekh Syihabuddin Mahmud ibn Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H), mengatakan bahwa ayat di atas merupakan poret Rasulullah dalam berdakwah. Dakwah dengan hikmah, pengajaran yang baik, hingga perdebatan diposisikan pada orang-orang tertentu. Setidaknya ada tiga kelompok pada zaman Rasulullah yang ia hadapi, (1) orang khusus (khawas), yaitu orang-orang yang memiliki jiwa mulia, rasio yang cerdas sehingga dengan gampang memahami penjelasan Rasulullah, dan mereka memang memiliki kecondongan untuk memeluk agama Islam.
Kelompok pertama ini diajak untuk memeluk agama Islam dengan cara yang penuh hikmah; (2) orang awam, yaitu orang-orang yang memiliki jiwa hina, resio yang sempit sehingga sulit untuk memahami ajaran Rasulullah, mereka juga memiliki keyakinan yang kuat dengan semua tradisi dan anggapan batil yang terjadi di antara masyarakat sekitarnya, akan tetapi mereka tidak menentang dakwah Rasulullah. Maka, kelompok kedua ini diajak untuk memeluk agama Islam dengan cara pengajaran yang baik.
(3) orang-orang yang menentang risalah Rasulullah dan berani mendebatnya agar bisa mengalahkan kebenaran yang dibawa olehnya, hal itu disebabkan fanatisme buta terhadap ajaran nenek moyang mereka dan sudah tertanam dalam hati mereka keyakinan-keyakinan yang batil. Dengannya, dakwah dengan hikmah dan ajaran yang baik tidak bermanfaat bagi mereka, akan tetapi perlu untuk melawan argument-argumen yang mereka sodorkan dengan nalar dan dalil yang lebih rasional, dengan tujuan agar karakter jelek mereka bisa hilang.
Kelompok ketiga ini menurut Syekh al-Alusi didakwah untuk memeluk agama Islam oleh Rasulullah saw dengan cara mendebat dan mematahkan argumentasi mereka. Meski demikian, perdebatan itu berlangsung dengan baik, tidak ada satu kata kasar pun yang keluar dari lisan Rasulullah. (Al-Alusi, ar-Ruhil Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil ‘Adzim was Sab’il Matsani, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah, cetakan pertama: 1415 H, tahqiq: Syekh Ali bin Abdul Bari], juz III, halaman 373).
Tiga tahapan di atas, merupakan potret dakwah Rasululah kepada umat manusa kala itu. Tidak ada di antara tahapannya yang ia jalani dengan kekerasan. Lantas bagaimana cara dakwah umat Nabi Muhammad dalam mendakwahkan ajaran Islam, sebagai penerus perjuangan Rasulullah?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, setidaknya ada dua ayat Al-Qur’an, yang dikutip oleh Habib Abu Bakar al-Adni bin Habib Ali al-Mashur dalam kitabnya, yang menjelaskan secara khusus perihal dakwah umat Nabi Muhammad saat ini. Ayat pertama perihal anjuran kepada umat Islam untuk selalu mengajak orang lain melakukan kebaikan. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران: 104)
Artinya, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran: 104).
Sedangkan ayat kedua adalah larangan untuk mendakwahkan Islam dengan cara yang justru menjadi penyebab perpecahan dan menjadi penyebab munculnya suatu pertikaian antara umat Islam. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَأُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظِيمٌ (آل عمران: 105)
Artinya, “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (QS Ali ‘Imran: 105).
Kedua ayat di atas menurut Habib Abu Bakar al-Adani merupakan pedoman yang perlu dijadikan prinsip dalam berdakwah oleh semua umat Islam yang memiliki otoritas dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, sebagai representasi atas perjuangan Nabi Muhammad. Dakwah itu harus disampaikan dengan penuh kebaikan tanpa kekerasan yang bisa menimbulkan perpecahan dalam Islam. Sebagaimana potret dakwah yang dicontohkan Nabi Muhammad pada ayat di atas, dan ditegaskan dalam surat Ali ‘Imran tersebut. (Al-Adni, Fiqhud Dakwah fil Marhalatil Mu’ashirah, [Maktabah Jumhuriah al-Yamaniah], halaman 12-13).
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan at-Taimi, atau yang lebih dikenal dengan Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H) dalam kitab tafsirnya mengatakan, ayat pertama di atas memiliki makna yang sangat dalam dan harus dipahami oleh setiap orang yang mendakwahkan Islam. Menurutnya, alasan di balik kata “khairi-kebajikan” lebih didahulukan daripada “amar makruf” tidak lain sebagai dalil bahwa mendakwahkan ajaran Islam harus dilalui dengan cara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan tanpa melibatkan sedikit pun kekerasan-kekerasan dalam beragama.
Secara literatur ilmu syariat, mengajak pada kebaikan merupakan salah satu komponen dari amar makruf dan nahi mungkar, akan tetapi ada hal lebih penting yang perlu diperhatikan sebelum mengupayakan semuanya, yaitu berusaha semaksimal mungkin perihal bagaimana cara menampakkan potret dakwah Islam dengan penuh kebajikan dan kebijaksanaan, tanpa kekerasan dan berbagai upaya radikalisme lainnya. (Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Bairut, Darut Turatsil ‘Arabi, cetakan ketiga: 1998], juz VIII, halaman 314).
Dari penjelasan di atas, ada dua opsi yang perlu diperhatikan ketika berdakwah, (1) mengikuti prosedur yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan mengikuti tapak tilas yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, hal itu tergambar pada surat An-Nahl, ayat 125 di atas; dan (2) menjauhi segala ajakan dakwah yang berpotensi pada pertikaian dan perpecahan antara umat Islam. Sebab, prinsip dalam Islam sendiri adalah menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian.
Kedua opsi ini bisa terealisasi apabila bisa menyampaikan ajaran Islam dengan penuh hikmah dan sopan santun. Tanpanya, Islam tidak bisa berkembang pesat dan dikagumi oleh berbagai kalangan. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an:
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ (آلِ عِمْرَانَ: 159)
Artinya, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS Ali ‘Imran: 159).
Peradaban Islam dari satu zaman menuju zaman lainnya, dari satu masa sampai pada masa yang lain menjadi saksi bahwa Rasulullah telah sukses membumikan Islam dengan ajaran yang ramah, moderat, penuh hikmah dan sangat santun. Betapa banyak orang kafir Makkah, bahkan luar Makkah masuk Islam di hadapan Rasulullah dengan penuh kerelaaan dan keinginan mereka sendiri setelah melihat secara langsung sikap sopan santun dan kelembutan Rasulullah dalam menyampaikan risalahnya.