Mencari yang tak pasti, meninggalkan yang sudah pasti. Ketika yang pasti pergi penyesalan pun tak berarti. Ketika manusia fokus ke depan, saat itu juga ada yang terlupakan. Yang selalu menjadi tumpuan manakala pupus harapan. Korbankan jiwa raga mengharap sebuah kesuksesan. Sukses dihadapan sudah cukup membahagiakan dan membanggakan tanpa ingin secercah balasan. Sudah tentu yang mampu melakukan demikian adalah kedua orang tua yang selalu dihiraukan.
Kedua orang tua adalah penyebab dzohir terciptanya manusia. Termasuk dari sekian nikmat yang besar adalah terciptanya manusia itu sendiri. Mereka punya otoritas penuh pada anak semenjak awal kehidupannya yang berhubungan dengan etika dan moral. Ayah merupakan orang yang bekerja keras demi mencari rizki untuk keluarganya, sedangkan yang diprioritaskan adalah anak-anaknya. Dialah orang yang pertama kali merasakan sakit saat keluarganya terkena musibah. Sedang ibu adalah orang mengandung selama sembilan bulan dengan rasa letih setiap saat, terlebih saat melahirkan. Itu semua hilang seketika, ketika melihat tangisan sang buah hati.
Tanpa sadar tubuhnya lemah tak bertenaga. Tidak berhenti disitu, ibu selalu siap siaga untuk anak-anaknya. Hatinya hancur saat sang buah hati terluka, merasa tidak becus dalam menjaga anak.
Dari pengertian tersebut, seorang anak wajib bersikap baik kepada orang tuanya. Sebagaimana firman Allah, “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada orang tuanya.” (QS. Luqman ; 14). Menurut Ibu Abbas, kata menyapih dalam ayat adalah setelah anak dilahirkan maka si ibu akan merawat dan menyusuinya.
Ada sebuah kisah menarik dalam kitab Durotun-Nashihin hal. 168, dulu ada seorang pemuda datang kepada Nabi Muhammad SAW. Dia bercerita, “Ya Rasul, aku memiliki seorang ibu yang aku nafkahi. Tapi dia selalu saja menyakitiku dengan ucapannya. Apa yang seharusnya aku lakukan kepadanya?”
Nabi SAW. menjawab, “Penuhi hak-haknya. Demi Allah, seandainya ibumu memotong dagingmu, itu belum membuatmu memenuhi seperempat haknya. Tidakkah kau tahu bahwa surga berada ditelapak kaki ibu?”
Lelaki tadi pun terdiam. Lantas dia pulang ke rumah ibunya, lalu mencium telapak kakinya. Dia berkata, “Wahai ibuku, beginilah aku diperintahkan Rasulullah SAW.”
Dari cerita ini bisa ditarik kesimpulan, pengorbanan seorang ibu takkan pernah bisa dibalas. juga yang perlu disadari adalah seorang ibu bisa merawat tiga anak atau lebih. Tapi, mereka belum tentu bisa merawat satu ibu.
Dari Abi Hurairah R.A. Nabi bersabda : “Hal hina, hal hina, hal hina, seseroang yang masih menututi kedua orang tuanya saat salah satu atau keduanya sudah tua. Tapi tidak masuk surga.” (HR. Muslim). Banyak diluar sana orang tua yang terlantar karena sang anak malu mengakui orang tuanya. Nabi Muhammad sangat mencela orang-orang yang seperti ini. Bahkan dalam hadist diatas nabi mengulanginya sampai tiga kali. Indikasi bahwa tidak boleh mengacuhkan orang tua apalagi sampai menelantarkan.
Sedangkan durhaka pada mereka termasuk dari dosa besar. Nabi pun juga sudah menjelaskannya melalui riwayat Abdullah bin Amr bin al-Ash R.A. bahwa Nabi bersabda : “Dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh tanpa hak dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari).
Ketika tatakrama itu wajib kepada sesama manusia sebagaimana telah ditetapkan oleh syari’, maka esensi dari tatakrama itu sendiri wajib kepada orang tua. Apalagi ketika meraka sudah tua renta tak mampu bekerja.
Kesimpulannya adalah wajib taat pada orang tua dalam semua hal kecuali yang dilarang syari’. Inilah alasan mengapa Nabi Muhammad sangat menekankan agar memulyakan kedua orang tua meskipun mereka kafir. (lihat Hikmatu as-Tasyri’ wa Falsafatah juz II hal. 279-280). Wallahu A’lam, semoga bermanfaat.
kontributor : Abdurrahman Wahid