Akhir-akhir ini, kita (Nahdliyyin) dihebohkan dengan statment komedian berinisial P. Dia seolah-olah menyatakan bahwa NU kurang dekat dengan masyarakat, elitis, atau apalah. Saya tidak punya nafsu untuk membahas diksi statment itu. Iya, walaupun dia hanya mengutip statment orang lain, tapi yang menjadi masalah bukan disitu.
Sebelum dilanjutkan, perlu diperhatikan, pertama; tulisan ini murni hanya dari salah satu warga Nahdliyyin dan sama sekali tidak mengatasnamakan NU. Artinya, jika tulisan ini ada pemilihan diksi yang kurang berkenan bagi siapa pun, itu murni dari penulis, jangan kaitkan dengan NU secara kelembagaan. Kedua; tulisan ini hanya luapan ekspresi ketidaksetujuan atas pernyataan tersebut. Ketiga; tulisan ini tidak akan membahas diksi statment diatas, melainkan akan melihat dari perspektif opini yang terkandung dalam diksi tersebut.
Pendek kata, perspektif saya, pernyataan komedian tersebut setidak mengandung opini bahwa “NU kurang bermasyarakat.” Lah, kandungan opini inilah yang menjadi masalah dan saya tidak setuju. Saya—sebagai warga NU—tahu betul bagaimana kedekatan kiai-kiai NU dengan masyarakat, bahkan bukan hanya dekat, bisa dibilang hampir tidak tersekat. Seperti apa kedekatannya? Saya mulai dari guru-guru saya dulu, karena memang yang paling saya tahu. Dan perlu diketahui bahwa beliau rata-rata ada di kepengurusan struktural NU. Ada yang di Ranting, MWC, PC, bahkan ada yang di PBNU.
Pertama, guru saya yang ada di pengurus Ranting. Saya tidak berani menyebut nama-nama beliau, khawatir beliau tidak berkenan. Karena, ada sebagian kiai-kiai NU itu yang tidak berkenan disebutkan namanya di media sosial.
Guru Pertama, disamping kesibukannya sebagai kepala rumah tangga dan pengabdiannya di struktural NU, beliau sangat aktif di berbagai acara kemasyarakatan, mulai dari mengisi pengajian umum, tahlilan, pembacaan burdah bersama, dll. Padahal, beliau juga pengasuh salah satu pesantren. Coba dipikir, apakah contoh ini kurang dekat ke masyarakat, tidak terbuka pintunya, atau elitis? Tinggal dipikir sendirilah..! Oia, jangan lupa, mikirnya pakai otak, jangan pakai lutut.
Guru Kedua, beliau juga aktif di NU sebagai ketua GP. Anshori kecamatan. Selain itu, yang saya kagumi dari sosoknya, beliau tetap eksis berdedikasi di pesantren. Setiap hari Sabtu, beliau rutin menghadiri acara Bahtsul Masa’il yang diadakan pesantren beliau nyantri dulu, dan juga beliau adalah salah satu pengurus di bidang ekonomi pesantren. Semua dedikasi itu, beliau lakukan dari rumahnya. Pendek kata, di sela-sela beliau sibuk dengan urusan keluarga dan sebagai ketua GP. Anshor, beliau sangat aktif mengabdi di pesantren, tempat beliau nyantri dulu. Bisa direnungkan, apakah karakter ini mencerminkan jauh dari masyarakat, tidak terbuka pintunya, atau kurang berdedikasi ke masyarakat? Tinggal dipikir sendiri. Jangan lupa berpikir menggunakan akal sehat, jangan akal karat.
Guru ketiga, beliau guru sekaligus Lora/Gus—sebutan yang disematkan kepada putra para kiai—saya. Tentu, kesibukan pertama beliau—sebagai Lora—adalah mengurusi para santrinya. Beliau termasuk pengurus PCNU. Disamping kesibukannya itu, beliau sangat aktif berdakwah ke pelosok-pelosok desa. Bahkan terkadang dalam satu hari ada dua atau tiga undangan. Bisa dibayangkan tidak, bagaimana cara beliau mengatur waktu? Ini belum urusan keluarga atau yang bersifat pribadi.
Adakah yang berani menyatakan bahwa sosok pribadi seperti ini elitis dan tidak bermasyarakat? Semua guru saya di atas, hanya sebagian kecil cerminan NU. Artinya, kalau membahas tentang kedekatan NU dengan masyarakat, dedikasi NU, dan sumbangsih NU, baik ke agama dan bangsa, tidak akan ada selesainya. Saking banyaknya alhasil siapa yang menyatakan, membandingkan, ataupun mengatakan bahwa NU cenderung elitis, kurang dekat dengan masyarakat, atau semacamnya. Maka banyaklah bertanya dan berkunjung ke kiai-kiai NU atau ke kantor NU terdekat. Setidaknya sebelum mengambil kesimpulan bisa menambah pengetahuan ke-NU-an kita sekalian. Sekian.
Senin, 24 Januari 2021 M.
Oleh : Syifaul Qulub Amin, santri Pon-Pes Nurul Cholil Bangkalan.
Editor : Ismail Zaen