Pada tulisan sebelumnya, sudah diuraikan epistimologi Al-Ghazali tentang Ilmu. Pada tulisan kali ini sudah masuk ke dalam Ilmu Ladunni Perspektis Al-Ghazali dan bagaimana cara mendapatkannya.
Sebelum lebih lanjut menjelaskan Ilmu Ladunni, Al-Ghazali terlebih dahulu memaparkan cara-cara memperoleh ilmu. Menurutnya, manusia bisa memperoleh ilmu dari dua metode: Pertama, pengajaran manusia; Kedua, pengajaran Tuhan. Metode pertama adalah metode lazim dan dapat dirasakan oleh panca indra serta diakui oleh semua orang berakal.
Sementara metode kedua, pengajaran Tuhan, dapat melalui dua jalan: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan konsentrasi dalam perenungan atau tafakur. Dari dua jalan itu, seorang akan mendapatkan limpahan ilmu langsung dari Tuhan.
Limpahan Ilmu yang diberikan oleh Tuhan menurut Al-Ghazali terjadi dalam dua bentuk: Pertama, melalui wahyu, kedua melalui Ilham. Bentuk pertama merupakan ilmu diperoleh oleh para nabi dan rasul. Meraka mendapatkan ilmu langsung dari Allah, tanpa ada penghubung maupun perantara serta proses belajar. Karena itu, derajat ilmu para nabi lebih mulia dibanding seluruh ilmu manusia. Allah telah menutup pintu wahyu sejak masa junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Beliau adalah penutup para nabi sekaligus manusia yang paling berilmu dan paling fasih baik di kalangan Arab maupun non-Arab.
Bentuk kedua adalah ilham, yaitu sebuah peringatan dari jiwa universal terhadap jiwa partikular insani yang disesusaikan dengan kadar kejernihan dan kuatnya kesiapan. Ilham ini lah yang dimaksud Ilmu Ladunni menurut Al-Ghazali. Ilmu yang diraih dari wahyu disebut ilmu kenabian, sedangkan ilmu yang dicapai melalui ilham dinamakan ilmu Laduni. “Ladunni”, kata Al-Ghazali, “tiada lain laksana cahaya pelita yang mengenai hati yang bersih, kosong, dan lembut”.
Sebab-Sebeb Muculnya Ilmu Laduni
Pada puncaknya, menurut Al-Ghazali, Ilmu Ladunni adalah mengalirnya cahaya ilham yang terjadi setelah penyempurnaan ciptaan (taswiyah). Dan hal itu bisa terjadi melalui tiga proses:
Pertama, Memperoleh segala ilmu dan mengambil sebagian besar darinya.
Karena llmu Ladunni termasuk katagori pengajaran Tuhan, dan pengajaran Tuhan dapat dilalui dengan cara belajar, sehingga untuk medapatkan ilmu Ladunni, maka tangga pertama adalah belajar, memaksimalkan potensi yang ada dalam diri manusia. Ini artinya Al-Ghazali tidak menafikan proses belajar dalam Ilmu Ladunni.
Kedua, Riyadah yang sungguh-sungguh dan Muraqabah yang benar
Dalam proses pemerolehan ilmu tidak cukup hanya menggunakan prangkat dzohir, tetapi juga harus menggunakan prangkat batin dengan cara Riyadhah dan Muraqabah, berusaha menjernihkan hati dan selalu ta’at pada perintah Allah serta semaksimal mungkin menjauhi larangan-Nya.
Selain itu, proses kedua ini bisa diartikan dengan mengamalkan ilmu yang didapat. Dalam hal ini Al-Ghazali mengutip sabda Nabi Saw:
من عمل بما علم أورثه الله علم ما لم يعلم
Artinya, “Barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui maka Allah hendak menganugerahkan ilmu yang tidak ia ketahui.”
Dengan kata lain, mengamalkan ilmu yang diketahui merupakan pintu muculnya pengetahuan ketiga. “Berapa orang” kata Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, “yang belajar sedikit namun bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya Allah telah bukakan untuknya pintu hikmah”.
Ketiga, Tafakur (merenung)
Jika jiwa itu sudah memperoleh ilmu melalui proses belajar kemudian melakukan riyadhah dengan mengamalkan ilmu itu lalu merenungkan segala hal yang sudah ketahui dengan memenuhi syarat-syarat berpikir, maka akan terbuka pintu masuknya ilmu gaib atau ilmu ketiga.
Menurut Al-Ghazali, memperoleh ilmu melalui tafakur menggunakan batin kedudukannya sama dengan belajar dalam konteks dzohir. Bahkan menurut Al-Ghazali, memperoleh ilmu melalui tafakur itu lebih besar pengaruhnya dari pada belajar. Sebab, belajar merupakan perolehan ilmu oleh individu dari individu partikural, sementara tafakur merupakan perolehan ilmu oleh jiwa dari jiwa universal. Sudah barang tentu jiwa universal lebih berpengaruh dari yang lain. Dan Inilah pintu masuknya ilmu Ladunni yang dimaksud Al-Ghazali
Jika akal kita jernih, hati kita bersih, maka kata Al-Ghazali tidak butuh banyak belajar untuk memperoleh ilmu, melainkan cukup dengan sedikit merenung. Ilmu yang tidak bisa diperoleh oleh jiwa yang keras dengan belajar satu tahun, dapat diperoleh oleh hati yang jernih hanya dengan merenung sejenak. “Dengan demikian”, kata Al-Ghazali, “sebagian orang memperoleh ilmu dengan cara belajar, dan sebagian lain dengan cara merenung, meskipun belajar tetap membutuhkan perenungan”.
Pada intinya, Ilmu Ladunni menurut Al-Ghazali adalah mengalirnya cahaya ilham ke dalam hati yang jernih dengan memalui beberapa proses yang harus ditempuh dengan benar dan sungguh-sungguh. Ilmu Ladunni bukan berarti menafikan belajar, tetapi dari peroses belajar lalu mengamalkan ilmu yang didapat serta merenunginya itulah yang dapat memunculkan Ilmu Ladunni yang dilimpahkan langsung oleh Allah.
“Orang yang telah mencapai tingkatan ilmu Laduni” Ujar Al-Ghazali, “tidak perlu lagi banyak mencari dan bersusah payah belajar. Cukup bagi mereka sedikit belajar dan akan mengetahui banyak hal, serta sedikit merasakan kelelahan dan banyak istirahat.”