“Zaman sekarang bukan lagi perang fisik, melainkan perang digital.” Begitulah dawuh guru saya pada suatu kesempatan. Beliau menjelaskan bagaimana seharusnya kita memanfaatkan kemajuan teknologi yang berkembang sangat pesat . Segala macam informasi lebih cepat terakses, mulai dari yang berbentuk edukasi, berita, informasi seputar sejarah, bahkan aktivitas yang dilakukan oleh orang lain dengan jarak yang sangat jauh dari tempat kita tinggal, bisa kita ketahui dengan teknologi zaman sekarang. Berbeda pada saat zaman dulu yang masih menggunakan surat dan telegraf. Sebagai seorang guru agama, beliau juga menjelaskan potensi bahaya yang ditimbulkan dari teknologi tersebut, seperti kecanduan berlebihan, ansos (anti sosial), mencontoh konten negatif, dan lain sebagainya.
Kemudian beliau juga memberi nasihat agar bijak menggunakan teknologi tersebut untuk sesuatu yang baik dan benar, jangan sampai dalam menggunakan teknologi tersebut, kita melupakan status kita sebagai seorang muslim dan melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kita lakukan. Beliau juga berpesan agar para pemuda islam memanfaatkan teknologi tersebut untuk berdakwah dengan mengajak para muslim lain untuk berbuat kebaikan dan saling mengingatkan tentang kebenaran satu sama lain.
Kemudian di kesempatan yang lain dalam suatu acara kajian penulisan, dosen saya menulis kata subhanallah di sebuah papan lalu menyuruh kami membacanya. Setelah kami serentak selesai membaca, beliau berkata “saya menulis ini di papan, kalau kalian membacanya, secara tidak langsung saya mengajak kalian berdizkir. Coba bayangkan begitu bermanfaat ketika gagasan-gagasan kalian dibaca orang lain bukan ?”.
Dari dua persepsi diatas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa dakwah untuk nensyiarkan islam sangat efektif di dunia digital. Sebab contohnya saja, ketika kita menulis artikel agama di media sosial, maka tulisan itu akan tampil di layar kaca handphone orang lain, dan secara tidak langsung akan banyak yang mengkonsumsi tulisan kita. Hal ini sangat produktif untuk dijadikan sarana dakwah dan ladang pahala untuk penulis dan pembaca. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj: Ayat 32 (Juz 17)
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.
Saya membaca tafsiran ayat diatas di dalam kitab Tafsir Munir karya kaliber Imam Nawawi al-Jawi al-Bantani. Saya simpulkan pemaparan beliau; Ayat tersebut berdenotasi dalam memaksimalkan kualitas hewan untuk qurban, seperti unta, maka pilihlah yang paling gemuk dan paling mahal harganya. Sebab hal inilah yang akan disyiarkan nantinya, dipublikasikan sebagaimana ketika seseorang berhias diri. Namun substansinya, ayat tersebut berkonotasi; apapun yang dapat memaksimalkan dalam menyiarkan agama Allah maka inilah yang dianjurkan.
Tapi ada satu kendala dalam hal demikian. Yaitu rasa minder dalam berdakwah di media sosial. Terkadang ada sebagian kalangan yang merasa kurang pantas. Apalagi bagi para pemuda termasuk saya. Dan karena banyak juga pemuda yang mengadopsi mindset “bukan tempatnya.” Dari sini, saya teringat hadis nabi Muhammad bahwa islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maklum kalau ada orang asing di suatu negeri, maka akan membatasi daya gerak dan lebih berhati-hati, sebab “bukan tempatnya.” Begitu juga: menjadi minoritas itu sulit melangkah ke depan. Terkadang langkah serentak butuh kuantitas yang serentak juga.
Hadis tersebut oleh imam Qurthubi diartikan dengan zaman ketika Dajjal datang, maka di zaman itu Islam akan asing. Meski saat ini banyak orang Islam, tapi sejatinya Islam yang sebenar-benarnya sudah asing. Dengan bukti: lebih banyak konten-konten dan publishing yang jauh dari nilai Islam banyak beredar dan dipraktikkan. Orang yang berpegang teguh pada agama Islam di akhir zaman (termasuk zaman yang sedang berlangsung ini) seperti orang yang menggenggam bara api: jika dibuang akan padam, jika tetap dipegang akan terasa panas. Maka siapa yang akan tahan? Kalau bukan hanya sekelumit orang.
lalu bagaimana cara untuk menghilangkan rasa minder dan kurang pantes?, saya rasa adalah dengan menyadari hakikat dari kehidupan, untuk apa kita diciptakan dan bagaimana kita seharusnya hidup. Seperti yang sudah Allah firmankan dalam QS. Adz-Dzariyat: Ayat 56 (Juz 27)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
Dapat dikonklusikan dari ayat di atas: agar menghancurkan ketundukkan kepada apapun selain kepada Allah. Bahkan ego sendiri yang memunculkan rasa minder dan kurang pantas. Lalu naik pada tingkatan, agar mengabdikan diri hanya kepada Allah (dalam mekanisme ini, syiar dalam dunia digital diniatkan mengabdikan diri kepada Allah). Setelah itu, ditingkatkan lagi pada; yang wujud hanyalah Allah, sebenarnya saya dan kalian tidak ada. Karena kita diciptakan oleh Allah. Maka hidup ini, bukan tentang saya dan kalian, tapi tentang keesaan Allah.
Dengan begitu, maka sudah siap bukan untuk mensyiarkan agama Allah di dunia digital saat ini?
Kontributor : Moh. Rosul
Editor : Imam Syafi’i