Syariat Islam merupakan syariat yang universal, tidak selalu tentang ritual ibadah, Islam mencakup dan mengatur segala aspek kehidupan, seperti halnya talak dalam hubungan suami istri.
Islam membolehkan talak, dan tidak mengharamkannya, sehingga pelaku tidak berdosa apabila menjatuhkan talak pada istrinya. Namun meski demikian, Allah SWT sangat membenci orang-orang yang mentalak istrinya, bahkan dalam suatu hadist ditegaskan :
(أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إلىَ اللهِ الطَّلَاقُ )
“Paling dibencinya sesuatu yang halal bagi Allah adalah talak.”
Dengan hadist tersebut imam Nawawi yang bergelar mujtahid mutlak dalam madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa tidak semua tindakan yang legal (halal) disenangi oleh syariat, karena sesuatu yang halal akan terklasifikasi menjadi dua bagian; ada halal yang disenangi, ada juga halal yang justru dibenci. Seperti halnya talak, meski secara esensi diperbolehkan, namun akan menjadi tindakan yang dibenci oleh Allah SWT (Majmu’ Syarah al-Muhaddzab Vol. 17 Hal. 83)
Syaikh Abu Bakar Syata ad-Dimyati memberikan alasan logis terkait kenapa talak menjadi tindakan legal namun dibenci, alasan yang beliau kemukakan adalah bahwa talak akan menjadi penyebab putusnya hubungan dan keturunan antara suami dan istri, padahal pokok terbesar dalam pernikahan adalah mempunyai keturunan. Alasan kedua yang disampaikan oleh Syaikh Abi Bakar Syata adalah dengan adanya talak akan membuat istri, keluarga dan anak-anak tersakiti. (I’anah at-Thalibin Vol. 4 Hal. 7)
Islam sangat mengatur begitu nyaman agar tidak terjadi talak ketika antara pasangan suami istri terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, Allah SWT berfirman :
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً (34) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً (35) {النساء : 34-35}
Artinya : “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi, Maha Sabar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh Allah Maha Teliti, Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa : 34 – 35)
Begitu indah Islam mengatur adanya rumah tangga agar tidak sampai terjerumus pada talak. Jika suami khawatir istri akan nusyuz (tidak menaati suami) maka langkah pertama bagi seorang suami memberikan nasihat kepada istrinya, dengan mengatakan, “Istriku, takwalah kepada Allah, karena saya mempunyai hak kepadamu, dan kembalilah kepadaku, serta ketahuilah, bahwa taat kepadaku merupakan kewajiban bagimu.” Jika dengan nasihat masih tidak taat, maka mengikuti langkah kedua, yaitu; tinggalkanlah ia di tempat tidur, dan termasuk dari kategori cara kedua ini adalah tidak berkata apapun kepada istri.
Langkah ini akan memberikan peluang yang lebih positif agar tidak terjadi talak, karena dengan cara ini sang istri akan merasa berat jika ditinggalkan oleh suaminya, sehingga istri akan meninggalkan nusyuz dan kembali menaati suaminya. Namun jika dari dua cara ini istri masih saja nusyuz, maka suami diperkenankan memukul istrinya, hanya saja menurut imam as-Syafi’i, meski memukul istri diperbolehkan dalam keadaan demikian, justru tidak memukulnya lebih baik, artinya, suami yang memukul istri dalam keadaan tersebut tidak lebih baik daripada suami yang tidak memukul istrinya saat itu.
Imam Syafi’i juga menjelaskan, bahwa jika suami terpaksa harus memukul istrinya, langkah yang benar adalah dengan tidak memukul pada anggota yang berpotensi sakit parah, serta tempat dipukulnya harus selalu berpindah (tidak memukul pada satu titik). (Tafsir Mafatihul Ghoib Juz 10 Hal. 72)
{ مفاتيح الغيب جـ ١٠ صحـ ٧٢ }
ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ: ﺃﻣﺎ اﻟﻮﻋﻆ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻬﺎ: اﺗﻘﻲ اﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﻟﻲ ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘﺎ ﻭاﺭﺟﻌﻲ ﻋﻤﺎ ﺃﻧﺖ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭاﻋﻠﻤﻲ ﺃﻥ ﻃﺎﻋﺘﻲ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻚ ﻭﻧﺤﻮ ﻫﺬا، ﻭﻻ ﻳﻀﺮﺑﻬﺎ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﺤﺎﻟﺔ ﻟﺠﻮاﺯ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛﻔﺎﻳﺔ، ﻓﺈﻥ ﺃﺻﺮﺕ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ اﻟﻨﺸﻮﺯ ﻓﻌﻨﺪ ﺫﻟﻚ ﻳﻬﺠﺮﻫﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﻀﺠﻊ ﻭﻓﻲ ﺿﻤﻨﻪ اﻣﺘﻨﺎﻋﻪ ﻣﻦ ﻛﻼﻣﻬﺎ، ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ. ﻭﻻ ﻳﺰﻳﺪ ﻓﻲ ﻫﺠﺮﻩ اﻟﻜﻼﻡ ﺛﻼﺛﺎ، ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻓﺈﺫا ﻫﺠﺮﻫﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﻀﺠﻊ ﻓﺎﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺤﺐ اﻟﺰﻭﺝ ﺷﻖ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﺘﺘﺮﻙ اﻟﻨﺸﻮﺯ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺒﻐﻀﻪ ﻭاﻓﻘﻬﺎ ﺫﻟﻚ اﻟﻬﺠﺮاﻥ، ﻓﻜﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﺩﻟﻴﻼ ﻋﻠﻰ ﻛﻤﺎﻝ ﻧﺸﻮﺯﻫﺎ، ﻭﻓﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﺣﻤﻞ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ اﻟﻬﺠﺮاﻥ ﻓﻲ اﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ، ﻷﻥ ﺇﺿﺎﻓﺔ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻀﺎﺟﻊ ﻳﻔﻴﺪ ﺫﻟﻚ، ﺛﻢ ﻋﻨﺪ ﻫﺬﻩ اﻟﻬﺠﺮﺓ ﺇﻥ ﺑﻘﻴﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺸﻮﺯ ﺿﺮﺑﻬﺎ. ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ: ﻭاﻟﻀﺮﺏ ﻣﺒﺎﺡ ﻭﺗﺮﻛﻪ ﺃﻓﻀﻞ.
Imam Fakhruddin ar-Rozi menjelaskan terkait kenapa Allah memulai dari menasihati, memisah dari tempat tidur, kemudian memukul. Ini memberikan peringatan bahwa, jika dengan cara pertama si istri sudah menaati suaminya, maka suami tidak boleh melanjutkan pada cara yang kedua, juga tidak boleh bagi suami ketika khawatir istrinya akan nusyuz langsung memisah tempat tidurnya, apalagi memukulnya. Karena ayat diatas memberikan indikasi tartib (berurut) yaitu; cara pertama dinasihati, jika masih nusyuz memisah diri dari tempat tidur, dan jika masih nusyuz baru diperbolehkan untuk memukul. (Ibid Juz 10 Hal. 72)
Semoga bermanfaat.
Penulis : Sunnatullah, santri al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.
Editor : Umair.
Mantap