Islam sangat menghorati keturuanan Nabi Adam ‘alaihissalam saat masih hidup, maupun ketika sudah meninggal. Hal ini sebagai bentuk bahwa mereka merupakan makhluk terbaik yang ada di muka bumi. Oleh karenanya, Islam secara kolektif (Fardu Kifayah) mewajibkan bagi setiap orang mukallaf untuk merawat orang yang sudah meninggal dunia.
Kewajiban-kewajiban itu setidaknya terbagi menjadi empat bagian, yaitu; (1) memandikan; (2) mengkafani (3) men-shalati; dan (4) mengubur janazah. Keempat kewajiban tersebut memiliki ketentuan masing-masing terutama dalam hal menguburkan janazah.
Pada tulisan saat ini, penulis akan lebih fokus membahas poin terakhir, yaitu perihal kewajiban mengubar janazah umat Islam.
Dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzzab, Imam Nawawi menjelaskan bahwa mengubur janazah hukumnya fardu kifayah, yaitu bila dalam suatu kampung tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa, akan tetapi jika ada satu orang saja yang melakukan, maka kewajiban dari yang lain menjadi gugur.
Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, bahkan alasan yang disampaikan oleh Imam Nawawi, karena membiarkannya di atas bumi akan merusak kehormatan mayit itu sendiri, dan masyarakat di sekitarnya akan dirugikan oleh sebab bau mayit tersebut.
Aturan Mengubur
Pada dasarnya setiap janazah harus dikubur dalam satu liang lahat. Tidak boleh mengubur dua janazah atau lebih dalam satu kuburan selagi tidak dalam keadaan darurat. Terkecuali mengumpulkan dua janazah yang satu jenis (laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan) maka hukumnya makruh bila tidak ada hajat.
Syekh Khatib asy-Syarbini dalam kitab Iqna’-nya mengatakan,
ولا يدفن اثنان ابتداء في قبر واحد بل يفرد كل ميت بقبر حالة الاختيار للاتباع فلو جمع اثنان في قبر واتحد الجنس كرجلين أو امرأتين كره عند الماوردي وحرم عند السرخسي ونقله عنه النووي في مجموعه مقتصرا عليه
Artinya, “Tidak diperbolehkan mengubur dua mayat dalam satu liang kubur. Sebaliknya satiap mayat harus disendirikan dalam kubur mereka masing-masing, kecuali dalam keadaan mendesak, demi mengikuti Rasulullah. Andai ada dua mayat dikubur dalam satu liang lahat, maka hukumnya diperinci: bila senejis (laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan) maka hukumnya makruh menurut pendapat Imam Mawardi dan haram menurut Imam Sarkhasi. Pendapat haram inilah merupaka pendapat yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Majmu’nya secara ringkas.” (Syekh Asy-Syarbini, al-Iqna lis Sarbini, [Maktabah Shamela], juz I, halaman 209).
Dari penjenjelasan asy-Syarbini di atas, dapat disimpulkan bahwa mengubur dua janazah yang satu jenis (laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan) hukumnya makruh menurut Imam Mawardi dan haram menurut Imam Sarkhasi.
Selain pendapat di atas, Syekh Izzuddin al-Malibariy juga mengatakan dalam kitab Fathu al-Mu’in bahwa mengubur dua janazah yang ada ikatan mahram atau ikatan suamI-istri dalam satu makam hukumnya makruh,
ويحرم دفن اثنين من جنسين بقبر، إن لم يكن بينهما محرمية، أو زوجية، ومع أحدهما كره، كجمع متحدي جنس فيه بلا حاجة.
Artinya, “Tidak boleh mengubur dua janzah dalam satu kubur jika di antara keduanya tidak ada hubungan mahram atau saumi istri. Dan jika bersamaan asalah satunya (ada hubungna mahram atau suami istri) maka hukumnya makruh sebagaiamna (makruh) mengumpulkan dua janazah yang satu jenis tanpa da hajat.”
Beda halnya dengan Imam Ramli, beliau dengan tegas mengatakan haram mengubur dua janazah meski di antara keduanya terdapat ikatan mahram atau ikatan suami istri. Sebab menurutnya, larangan mengubur dua janazah dalam satu makam bukan didasarkan pada syahwat, melainkan kepada kemungkinan menyakitkan.
Pendapat Imam Ramliy ini sebagaimana dikutip oleh Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitab I’anah at-Thalibin,
والذي جرى عليه م ر الحرمة مطلقا اتحد الجنس أو اختلف كان بينهما محرمية أو لا وذلك لأن العلة في منع الجمع التأذى لا الشهوة فإنها قد انقطعت بالموت
Artinya, “Pendapat yang diikuti oleh Imam Ramli adalah mutlak haram, baik sejenis atau beda jenis, baik ada hubungan maharam atau tidak. Hal tersebut karena alasan keharaman mengumpulkan adalah kemungkinan menyakiti bukan syahwat. Sebab, rasa syahwat telah hilang saat mati.” (Syekh Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurrati al-Ain bi Muhimmati ad-Din, [Bairut, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama: 1999], halaman 218).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa mengubur mayat satu jenis atau beda jenis namun masih memiliki ikatan mahram atau suami istri masih diperdebatkan oleh para ulama, ada yang mengatakan makruh, ada juga yang masih bersikukuh pada hukum haram.
Harapan penulis, adanya perbedaan pendapat ulama di atas, tidak menjadikan legitimasi untuk menyerang atau bahkan menyalahkan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sebab, hukum yang masih diperdebatkan oleh para ulama, tidak bisa diingkari keberadaannya.
Waallahu A’lam bisshawab
Comments 1