Pernah viral dikalangan netizen ungkapan seorang tokoh mengenai larangan memiliki rasa fanatik terhadap suatu golongan atau lebih pasnya larangan fanatik terhadap suatu organisasi. Alasannya, katanya, adalah hadist yang diriwayat kan oleh Jubair Bin Muth’im bahwa Rasulullah bersabda:
ليس منا من دعا الى عصبية وليس منا من قاتل على عصبية وليس منا من مات على عصبية
Artinya : “Bukanlah dari golongan kami orang yang mengajak terhadap kefanatikan, dan bukan dari golongan kami orang yang berperang dan mati disebabkan kefanatikan.”
Sekedar catatan, menilai kualitas hadist tersebut asy-Syaikh Abdul Muhsin dalam Syarhu Sunan Abi Daud-nya menstatuskan dhoif karena dari segi isnadnya terputus, dan salah satu dari periwayatnya ada yang tidak diketahui. Namun secara makna (substansi) hadist tersebut tercantum dalam shahih muslim sehingga maknanya dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW.
Lalu benarkaH hadits di atas maknanya adalah melarang umat untuk fanatik kepada organisasi tertentu?
Mari kita kaji melalui berbagai perspektif khususnya melalui komparasi dengan berbagai literatur di kitab-kitab ulama yang otoritatif (mu’tabarah).
Pertama, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata fanatik artinya adalah kuatnya kepercayaan (keyakinan) terhadap suatu ajaran baik dalam bidang politik, agama dan sebagainya. Kedua, perlu kita pahami terlebih dahulu arti dari pada ashobiah (fanatik) yang tercantum dalam hadist tersebut; As-Syaikh Abdurrouf Al-Manawy dalam kitab Faid Al-Qodir-nya mengartikan fanatik dalam hadist di atas adalah tolong menolong dalam kedholiman.
(ليس منا من دعا إلى عصبية) اي من يدعو الناس إلى الاجتماع على عصبية وهي معاونة الظالم
Artinya : “(Bukanlah golongan kami seseorang yang mengajak untuk fanatik) artinya seseorang yang mengajak seseorang untuk bersama sama dalam kefanatikan yaitu saling menolong dalam kedholiman.”
Ulama lain menerangkan makna ‘ashabiyah’ yaitu Syaikh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Asna Al-Mathalib. Beliau menerangkan bahwa kecintaan seseorang terhadap orang lain bukanlah bentuk ‘ashabiyah’. Menurut beliau, ‘ashabiyah’ adalah membenci orang lain sebab tidak sejalan dengan pemikirannya (golongannya) dan memprovokasi orang lain untuk mengikutinya.
Ketiga, dalam tinjauan fiqh, menurut Abu Al-Hasan Al-Mawardi dalam kitab al-Hawy al-Kabir, ‘ashabiyah’ itu diklasifikasi menjadi dua model; pertama, fanatik buta terhadap satu golongan atau hanya mendukung satu pihak saja tanpa meninjau apakah pihak yang didukungnya itu benar atau malah sebaliknya. Fanatik model pertama hukumnya haram, bahkan orang yang fanatik dikategorikan sebagai fasik yang kesaksiannya tidak dapat diterima, karena, menurut Al-Mawardi, orang fanatik seperti halnya di atas itu masuk dalam katagori firman Allah dalam Surah at-Taubah, yaitu:
ٱلْمُنَٰفِقُونَ وَٱلْمُنَٰفِقَٰتُ بَعْضُهُم مِّنۢ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُون
Artinya : “Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
‘Ashabiyah model kedua adalah ‘ashabiyah atau fanatik yang hanya sekedar untuk mempertahankan yang hak dan menolak kebatilan atau kedzaliman. Fanatik yang semacam ini tidak terlarang sebab, menurut Al-Mawardi, selaras dengan firman Allah dalam Surah Al-Maidah berikut:
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Lalu di akhir pembahasannya tentang ‘ashabiyah, Al-Mawardi memberi closing statement berikut:
ثم تعتبر هذه العصبية، فان كانت لمحبة القوم فهي مباحة وان كانت لنصرة الحق فهي مستحبة
Artinya : “Ashabiyah yang kedua ini hukumnya boleh kalau hanya sebatas mencintai suatu golongan, namun jikalau fanatiknya dalam rangka memperjuangkan kebenaran maka hukumnya sunnah.”
Pernyataan Al-Mawardi di atas selaras dengan apa yang telah ditegaskan oleh Syaikhina Thoifur Ali Wafa, bahwa seseorang yang mempunyai keyakinan atau bahkan menyangka dirinya tidak mampu untuk menjaga masalah agamanya serta menegakkan Amar ma’ruf Nahi mungkar kecuali bergabung dengan organisasi yang berbasis ASWAJA (Ahlusunah Wal Jama’ah) yang lebih dispasifikkan lagi yaitu NU, maka baginya wajib untuk bergabung dan fanatik terhadap golongan atau organisasi tersebut, sebab semua orang Islam mempunyai kewajiban untuk membentengi keislamannya dari sesuatu yang dapat merusaknya. Kiai Thoifur dalam kitab Bulghat at-Thullab menerangkan hal berikut:
من تيقن او ظن أنه لا سبيل الى حفظ الدين والقيام بوظيفة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر الا بالانتساب الى جميعة من جميعات أهل السنة والجماعة وجب عليه ذلك اذ يجب على كل مسلم حفظ اسلامه وصونه عما يفسده ويبطله
Artinya : “Barangsiapa yang meyakini atau memiliki dugaan kuat bahwa tidak ada cara lain untuk menjaga agama dan menegakkan amar makruf nahi munkar kecuali dengan bergabung dalam sebuah organisasi dari organisasi-organisasi (yang berbasis) Ahlusunah Waljamaah, maka wajib baginya (untuk bergabung dalam organisasi tersebut), karena setiap muslim wajib menjaga agamanya dan melindunginya dari hal-hal yang dapat merusaknya.”
Bahkan sangat pas kalau Al-Habib Luthfi bin Yahya pernah menyatakan di suatu acara bahwa beliau sudah terlanjur fanatik kepada NU.
Maka bisa kami simpulkan bahwa pernyataan seorang tokoh yang melarang fanatik dengan hanya berdasarkan satu hadist diatas, itu perlu dikaji ulang. Sebab tidak cukup bagi sekelas tokoh publik menyikapi suatu persoalan hanya dengan bertendensi terhadap satu hadist dengan tanpa memperhatikan perjelasan para ulama tentang hadits tersebut. Wallahu a’lamu bishowab.
Ismail Zaen, 17 Februari 2021