• Tentang
  • Pedoman Media Siber
  • Kirim Artikel
  • Redaksi
Selasa, Agustus 9, 2022
  • Login
al-Ummah
Advertisement
  • Warta
  • Keislaman
    • Tafsir al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Fuqoha
    • Tarikh
  • Humor
  • Fikroh
  • Konsultasi
  • Kirim Artikel
  • Tentang al-Ummah
No Result
View All Result
  • Warta
  • Keislaman
    • Tafsir al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Fuqoha
    • Tarikh
  • Humor
  • Fikroh
  • Konsultasi
  • Kirim Artikel
  • Tentang al-Ummah
No Result
View All Result
al-Ummah
No Result
View All Result

Lima Alasan Mengapa Musibah Harus disyukuri Menurut Imam Ghozali

Bushiri by Bushiri
Februari 5, 2022
in Tasawuf
0
Mensyukuri Musibah

Mensyukuri Musibah

0
SHARES
16
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Logika keagamaan yang umum mengatakan bahwa, syukur ditujukan untuk datangnya nikamat, sedangkan sabar ditujukan untuk datangnya musibah. Ketika nikamat datang menghampiri, maka seseorang dituntut mensyukurinya. Begitupun juga ketika musibah datang, maka seseorang dituntut untuk menyabarinya. Dalam dunia tasawuf, logika ini bisa saja terbalik. Bisa jadi, syukur merupakan sikap dalam menghadapai musibah, sedangkan sabar merupakan sikap menghadapi kenikmatan. Sikap ini justru menunjukkan tingginya spiritual seseorang. Logika terbalik ini sebagaimana yang tersirat pada perkataan Fudhail bin ‘Iyad :

لا يبلغ العبد حقيقة الإيمان حتى يعد البلاء نعمة والرخاء مصيبة

Artinya, “Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat iman sampai dia menganggap musibah sebagai nikmat dan kegemilangan harta sebagai musibah”. (al-Ashbihaniy, Hilyatul Auliya’, Vol. 3, h.394)

Bagi kaum sufi, sesuatu di dunia ini memiliki dua sisi sekaligus; nikamat dan musibah. Sebab, nikamat dan bala yang ada di dunia ini bersifat muqoyyadah (tidak mutlak) dengan arti tidak murni berupa nikmat, akan tetapi memiliki sisi lain yang menyengsarakan atau merugikan, kecuali sebagian kecil saja, seperti iman dan budi pekerti yang baik. Sebuah kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang di dunia, biasanya memiliki sisi lain yang merugikan dia. Jika seseorang diberi nikmat maka cenderung akan lalai terhadap tuhan. Hal ini tentu menjadi sebuah musibah besar dikalangan ahli tasawuf. Begitupun juga  bala, seseorang lebih cenderung mengingat tuhan pada saat tertimpa musibah. Hal ini tentu merupakan nikmat yang patut disyukuri.

Lalu, jika sesuatu memilik dua sisi; nikmat dan musibah sekaligus, bagaimana mungkin seseorang sabar dan bersyukur terhadap satu parkara?. Oleh karena itu, Imam Ghozali menyebutkan dalam Ihya’ ‘Ulumiddin :

أن الشيء الواحد قد يغتم به من وجه ويفرح به من وجه آخر فيكون الصبر من حيث الاغتمام والشكر من حيث الفرح

Artinya, “Sesungguhnya sesuatu itu terkadang menyengsarakan seseorang dari satu sisi dan mengembirakan dari sisi yang lain. Maka menggunakan sikap sabar dalam meyikapi sisi yang menyengsarakan dan menggunakan sikap syukur pada sisi yang mengembirakan”. (al-Ghazaliy, Ihya’ Ulumi ad-Din, Vol.3 h.233

Menurut Imam Ghozali, setiap penderitaan yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan dunia, setidaknya bisa disyukuri karena lima faktor. Pertama, bersyukur karena Alla tidak menimpakan musibah yang lebih besar, padahal Allah bebas berkehendak melakukan apa saja terhadap hamba-hambanya. Konon, ada seorang Syekh sufi berjalan di sebuah lorong terbuka. Lalu, ada orang yang menyumpahkan abu perapian ke atas kepalanya. Kontan, Syekh tersebut langsung melakukan sujud syukur. Ketika ditanya mengenai aksinya itu, dia berkata, “Aku sangat khawatir mendapatkan hukuman api.” Jadi, ketika ternyata hukuman yang diterima hanyalah abu, maka hal itu sangat layak disyukuri.

Kedua, bersyukur karena malapetaka tersebut tidak terjadi dalam prisip agamanya. Mengenai hal ini, konon ada seorang mengadu kepada Imam Sahl at-Tustari, “Ada pencuri masuk ke rumah dan mengambil barang-barangku.” Imam Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah. Sebab, jika yang masuk itu adalah setan ke dalam hatimu, lalu merusak tauhidmu, apa yang bisa kau perbuat ?”

Ketiga, bersyukur karena musibah yang dalami seseorang di dunia bisa saja merupakan penghapus hukumannya di akhirat. Rasulallah SAW bersabda :

ومن أصاب شيئا من ذلك فعوقب به فهو كفارة له

Barangsiapa melakukan sesuatu dari (berbagai berbuatan dosa) tersebut, lalu dia mendapatkan hukumannya (di dunia), maka itu adalah penghapus baginya. (HR. Muslim)

Keempat, musibah tersebut sudah termaktub dalam catatan takdir, dan sudah pasti mengena kepadanya. Tidak ada jalan untuk menghindarinya. Jadi, ketika musibah itu telah menimpa, maka layak untuk bersyukur karena telah menyelesaikan satu beban yang pasti menjadi gilirannya.

 Kelima, musibah dan kesengsaran dunia merupakan jalan lapang menuju kebahagiaan akhira, setidaknya karena dua faktor. Faktor yang pertama, penderitaan di dunia tak ubahnya obat dan suntikan untuk menyembuhkan penyakit. Faktor kedua, musibah dan penderitaan dapat mengurangi kuatnya ikatan hubbu-dun’ya atau kecintaan seseorang terhadap kenikmatan duniawi.

Sekian lima alasan menurut Imam Ghazliy mengapa kita harus mensyukuri musibah yang diberi oleh Allah.

Waallahu A’lam

Terkait

Tags: Imam GhozaliMusibahTasawuf
Previous Post

Ketika Imam Syafi’i ditanya Dalil Ijma’

Next Post

Perbedaan NU dan Muhammadiyah Menurut Gus Dur

Bushiri

Bushiri

Pemimpin redaksi al-ummah

PostinganTerkait

Nasehat Nabi Isa Bagi Yang Sering Mengeluhkan Rezeki
Fikroh

Nasehat Nabi Isa Bagi Yang Sering Mengeluhkan Rezeki

by Afif Lathif
Juni 21, 2022
0

Dalam Kitab al-Imta wa al-Mu’anasah, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi (W. 414 H) mencatat perkataan Nabi Isa ‘alaihissalam tentang pentingnya melihat...

Kisah Tirakat Dzun Nun al-Mishri Menahan Selera Makan
Tasawuf

Kisah Tirakat Dzun Nun al-Mishri Menahan Selera Makan

by Bushiri
Juni 18, 2022
0

Dzun Nun al-Mishri merupakan salah satu sufi agung pada masanya. Salah satu tirakatnya yang unit adalah ketangguhannya dalam melawan selera...

Kisah Sufi: Ketika Abu Yazid al-Busthami Kesulitan Merasakan Manisnya Ibadah

Kisah Sufi: Ketika Abu Yazid al-Busthami Kesulitan Merasakan Manisnya Ibadah

Juni 11, 2022
Mengenal Fatimah al-Naisaburiyyah: Sufi Perempuan, Guru Dzun Nun al-Mishri

Mengenal Fatimah al-Naisaburiyyah: Sufi Perempuan, Guru Dzun Nun al-Mishri

Februari 24, 2022
Adakah Sombong Yang Terpuji Dalam Kajian Tasawuf ?

Adakah Sombong Yang Terpuji Dalam Kajian Tasawuf ?

Februari 21, 2022
Berikut Lima Macam Tafakur Menurut Para Ulama

Berikut Lima Macam Tafakur Menurut Para Ulama

Februari 2, 2022
Next Post
Perbedaan NU dan Muhammadiyah Menurut Gus Dur

Perbedaan NU dan Muhammadiyah Menurut Gus Dur

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow Us

Hukum Berjalan dan Duduk Di Atas Kuburan Saat Ziarah

Hukum Berjalan dan Duduk Di Atas Kuburan Saat Ziarah

Juni 30, 2022
Berikut Penjelasan Hukum, Kriteria Hewan, dan Waktu Pelaksanaan Kurban

Berikut Penjelasan Hukum, Kriteria Hewan, dan Waktu Pelaksanaan Kurban

Juni 27, 2022
Kisah Sufi: Menjadi Wali Karena Doa Seorang Pengemis

Kisah Sufi: Menjadi Wali Karena Doa Seorang Pengemis

Juni 23, 2022
Humor: Wanita Tidak Pernah Salah

Humor: Wanita Tidak Pernah Salah

Juni 26, 2022
al-Ummah

al-Ummah hadir sebagai salah satu situs Islam yang mewarnai dan meneduhkan polemik umat dengan tagline "Mencurahkan dan Mencerahkan".

Kategori Pilihan

  • Dakwah
  • Fikroh
  • Fuqoha
  • Humor
  • Keislaman
  • Review
  • Risalah
  • Tafsir al-Qur'an
  • Tarikh
  • Tasawuf
  • Warta

Temukan Kami di:

  • Tentang
  • Pedoman Media Siber
  • Kirim Artikel
  • Redaksi

© 2022 al-Ummah - All Rights Reserved.

No Result
View All Result
  • Warta
  • Keislaman
    • Tafsir al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Fuqoha
    • Tarikh
  • Humor
  • Fikroh
  • Konsultasi
  • Kirim Artikel
  • Tentang al-Ummah

© 2022 al-Ummah - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In