Memilih calon suami tidak sekompleks memilih calon istri, dimana kriteria pilihannya tidak sebanyak calon istri.
Karena pada prinsipnya calon suamilah (laki-laki) yang seharusnya memilih calon istri (perempuan), dan bukan sebaliknya.
Namun bukan berarti perempuan tidak boleh memilih siapa laki-laki yang mau dia terima sebagai calon suaminya.
Dalam hadist dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda sebagai berikut :
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika ada yang datang kepada kalian mau meminang, seseorang yang kalian meridhoi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, kalau tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (HR. Tirmidzi)
Menurut hadits di atas, hanya dua kriteria calon suami yang baik untuk diterima; bagus agama dan akhlaknya. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Imam Hasan al-Bashri :
وقال رجل للحسن: قد خطب ابنتي جماعة فمن أُزَوِّجُهَا؟ قَالَ: مِمَّنْ يَتَّقِي اللَّهَ ، فَإِنْ أَحَبَّهَا أكرمها، وإن أبغضها لم يظلمها
Seorang laki-laki berkata kepada Hasan al-Bashri, “Putriku telah dipinang banyak orang. Maka dengan siapakah aku nikahkan dia?” Imam Hasan menjawab, “Nikahkanlah putrimu dengan orang yang bertakwa. Karena orang yang bertakwa itu jika mencintai istrinya maka ia akan memuliakannya dan apabila membencinya maka ia tidak akan menzaliminya.”
Akan tetapi demikian, menurut Imam al-Ghazali, menjadi tanggung jawab dan kewajiban orang tua untuk memperhatikan siapa yang hendak dicalonkan sebagai suami untuk anak perempuannya.
Jangan sampai dia dinikahkan dengan laki-laki 1) yang jelek pekertinya, 2) yang cacat fisiknya, 3) yang lemah agamanya, 4) yang tidak bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai seorang suami dan 5) yang tidak kufu’ (sepadan) dalam segi nasabnya.
Karena Rasulullah ﷺ bersabda :
اَلنِّكَاحُ رِقٌّ، فَلْيَنْظُرْ اَحَدُكُمْ اَيْنَ يَضَعُ كَرِيْمَتَهُ، فَلاَ يُزَوِّجُهَا اِلاَّ مِمَّنْ كَانَ كُفُؤًا لَهَا.
“Nikah itu seperti seorang budak perempuan, maka salah seorang di antara kalian untuk melihat dimana akan meletakkan kemuliaannya, maka jangan menikahinya kecuali dari orang yang seimbang.” (HR. Baihaqi)
Bahkan menurut beliau (Imam Ghazali), berhati-hati didalam menjaga haknya seorang anak perempuan (memilihkan calon suami), lebih penting daripada haknya anak laki-laki. Karena menikah bagi perempuan seperti halnya perbudakan yang tidak ada kebebasan baginya.
Sedangkan bagi laki-laki (suaminya), dia bebas memutuskan talak kapan saja. Seumpama seseorang menikahkan putrinya dengan laki-laki dzalim, fasik, suka minum-minuman dan lain sebagainya, maka dia telah merugikan agamanya dan mendatangkan murka Allah karena telah memutus tali rahim, dan sembrono dalam memilih.
Rasulullah ﷺ bersabda :
ﻣﻦ ﺯﻭﺝ ﻛﺮﻳﻤﺘﻪ ﻣﻦ ﻓﺎﺳﻖ ﻓﻘﺪ ﻗﻄﻊ ﺭﺣﻤﻬﺎ
“Barang siapa menikahkan putrinya yang mulia dengan laki-laki yang fasik, maka dia telah memutus tali rahimnya.” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulan dari semua paparan di atas, laki-laki yang layak di terima pinangannya adalah dia yang bagus agama dan pekertinya, tidak cacat fisiknya, mau bertanggung jawab dan sepadan (kufu’)
Wallahu A’lam
Referensi :
إتحاف السادة المتقين، سيد محمد بن محمد الحسيني الزبيدي (ج/6 ص/131)
حياء علوم الدين، الإمام أبي حامد محمد بن محمد الغزالي (2/ 41) .