Dalam kitab at-Tibyan fin-Nahyi ‘an Muqatha’atil-Aqarib Wal-Ikhwan, Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari bercerita bahwa beliau memiliki seorang sahabat yang luar biasa mujahadahnya. Sangat tekun berpuasa disiang hari, sangat tekun beribadah di malam hari. Dia jarang sekali berbicara kecuali karena tuntutan yang sangat penting. Karena berbagai kelebihan dan keistimewaan itu, dia didaulat oleh para pengikutnya sebagai satu syekh dalam tarekat Naqsyabandi.
Suatu hari, sahabat Kiai Hasyim itu memilih untuk beruzlah, menyendiri dan tidak mau bergaul dengan siapapun. Dia tidak mau bermasyarakat. Dia hanya keluar rumah jika hendak shalat jamaah dan memimpin zikir tarekatnya. Semakin hari, semakin ekstrem. Hingga pada suatu hari, dia mengalami hal yang sangat aneh. Saat datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat, dia malah ngamuk, marah-marah dan melontarkan ucapan-ucapan kasar yang sangat keji. Setelah itu, dia langsung pulang ke rumahnya. Tidak ikut Shalat Jumat.
Kabar tentang sahabat beliau itu langsung menyebar mana-mana. Bahkan, tidak berapa lama kemudian, ada seorang menteri datang ke rumahnya untuk meminta doa agar senantiasa mendapat kesejahteraan. Syekh Naqsyabandi itu berkenan menerimanya dengan sambutan ramah dan hangat. Dia juga berkenan untuk mendoakan sang menteri sebagaimana telah diminta. Bahkan, sebelum pulang, tamu tersebut sempat memberi hadiah sejumlah uang kepadanya.
Setelah kejadian tersebut, Kiai Hasyim lantas berkunjung ke rumah sahabatnya itu. Cukup lam beliau berdiri menunggu di depan rumahnya, tapi dia tidak keluar. Beliau memanggilnya beberapa kali, tapi tetap tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, justru istri dari syekh tersebut yang menyahut dari balik pintu. Dia bilang bahwa suaminya tidak mau keluar dari kamar untuk menemui siapapun. Mendengar hal itu, Kiai Hasyim langsung menimpali, “Tolong sampaikan kepada suamimu bahwa teman dia yang bernama Hasyim Asy’ari ingin bertemu. Jika dia tidak mau keluar, maka sya yang akan masuk untuk memaksanya keluar.”
Tidak beberapa lama, diapun keluar. Tanpa basa-basi Kiai Hasyim langsung menanyai dia tentang perilaku anehnya semalam ini (terutama mengenai penolakan dia untuk menemui orang yang bertamu). Dia berkata, “Saya melihat orang-orang itu tidak seperti wujud manusia. Saya melihat mereka berwujud kera.”
Mendengar hal itu, Kiai Hasyim langsung menasehatinya, “Kemungkinan besar setan telah menyihir matamu dan memperdaya hatimu dengan membisikkan pikiran: jangan keluar rumah agar orang-orang mengira bahwa engkau wali. Sehingga, banyak orang yang berkunjung untuk mencari barakah dan memberikan hadiah padamu. Pikirlah hal itu dengan jernih.” Setelah itu, Kiai Hasyim menyampaikan beberapa sabda Nabi Saw yang memerintahkan seorang Muslim untuk menghormati tamu. Setelah itu, Kiai Hasyim pulang.
Beberapa hari kemudian, ternyata sahabatnya itu datang ke rumah Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam kunjungannya itu, dia mengakui kebenaran nasehat dari beliau. Dia menyatakan sudah meninggalkan uzlahnya dan kembali ke dalam kehidupan normalnya seperti sedia kala.
Kisah ini setidaknya memberi pelajaran kepada kita agar jangan mudah menganggap seseorang wali hanya gara-gara dia memiliki keajaiban-keajaiban, terlebih hanya dia melakukan hal-hal nyeleneh. Andai kewalian itu diukur dengan keajaiban, maka yang baling wali adalah Dajjal. Andai kewalian itu diukur dengan perilaku nyeleneh, maka yang paling wali adalah orang-orang yang sedang sakit jiwa.
Tak jarang dikalangan masyarakat yang menempuh jalan sufi terkecoh oleh hal-hal ajaib. Sehingga menganggap munculnya keajaiban sebagai karamah. Padahal, keajaiban itu sangat banyak macamnya. Bahkan, keajaiban yang diakibatkan oleh campur tangan setan atau jin lebih banyak terjadi dari pada keajaiban yang muncul sebagai karamah yang murni dari Allah.