Dzun Nun al-Mishri merupakan salah satu sufi agung pada masanya. Salah satu tirakatnya yang unit adalah ketangguhannya dalam melawan selera makan. Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul-Auliya’ menceritakan, sudah tiga puluh tahun lamanya Dzun Nun al-Mishri ingin memakan sekbaj (daging rebus dicampur gandum dan cukai), tetapi keinginannya itu tidak pernah dilampiaskan. Kebetulan esok harinya adalah hari raya dan batinnya berkata, “Bagaimana jika sehari engkau memberi kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”
“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau inginkan, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat Al-Qur’an di dalam shalat sunnah dua rakaat malam ini”.
Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya, Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu tidak ia sentuh, ia segera melakukan shalat.
“Apa yang terjadi?” kata seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.
“Barusan hatiku berkata kepadaku,” jawab Dzun Nun, “Akhirnya setelah sepuhuh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku!”
Bgeitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba masuk seorang pemuda yang membawakan semangkuk sekbaj kehadapan nya dan berkata,
“Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri, tapi sebagai utusan. Baiklah akan kuceritakan kenapa aku ke sini”, kata pemuda itu, “Aku mencari nafkah sebagai seorang kuli padalah akau mempunyai beberapa anak. Sudah lama mereka meminta sekbaj dan untuk itu akau telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku, “Jika engkau ingin melihatku dihari kebangkitan nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dakan katakan kepadanya bahwa muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara bisa berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekedarnya.”
“Kalau begitu, aku patuhi,” sahut Dzun Nun sambil menangis.