AS Laksana, sebagai penulis kenangan K.H. Yahya Cholil Tsaquf, sejak lama berkeinginan menulis perihal Gus Dus. Lebih spesifik, dalam kata pengantarnya, dia ingin meulis biografi Gus Dur. Dia mengumpulkan bahan-bahan di tempatnya bekerja, Tabloid DeTIK, dan bahan yang dimuat di media massa pada waktu itu. Dia pun telah menemuai keponakannya, Gus Saifullah Yusuf, untuk mengatur jadwal wawancara bersama Gus Dur. Akhirnya dia, AS Laksana, diajak Gus Saifullah untuk menemui Gus Dur.
“Ini Sulak, Pak Lek, yang saya ceritakan mau menulis biografi sampean.” Matur Gus Saifullah setelah menemui Gus Dur bersama AS Laksana.
Gus Dur pun, yang lagi duduk di meja makan, menjawab dengan santai sambil mengunyah tempe goreng, “Buku kalau mau ditulis ya pasti tidak pernah jadi.”
Mendengar jawaban tersebut, Gus Saifullah hanya tertawa. Sebaliknya, mendengar komentar semacam itu, AS Laksana sedikit panas. Kata dia dalam hati, “masak iya, buku yang sudah separuh saya tulis tidak akan jadi?” Dia pun berkomitmen ingin merampungkannya secepat mungkin, ingin membuktikan bahwa kementar Gus Dur barusan tidak tepat. Namun, kenyataan berkata lain, dauh Gus Dur lah yang benar. Tidak lama setelah pertemuan malam itu, laptop tempat manyimpan tulisannya dicuri orang.
Memang, setiap hal yang bertautan dengan sosok Gus Dur selalu mengandung keunikan, baik ihwal yang rasional sampai sesuatu yang tidak masuk akal. Unik dalam arti bukan sekadar nyelenih, tapi dalam keunikan tersebut termuat pesan yang sangat mendalam. Saking dalamnya, terkadang sulit dipahami khalayak umum. Namun, pada akhirnya, mereka yang awalnya tidak percaya, akan menganggukan kepala, seraya terheran akan laku atau ucapan beliau, Gus Dur. Dengan sebab inilah, di samping beliau dikenal sebagai eksponen jenius, humoris, pluralis, beliau juga dianggap tokoh yang kontroverasi dalam mealayangkan pendapat.
Contoh kecil, sebagaimana termuat di buku ini, yang Gus Yahya kenang dari sosok Gus Dur yaitu ketika beliau menjabat presiden RI ke-4. Pada saat itu, wartawan di istana negara sengsara di masa Gus Dur. Kata Gus Yahya, para wartawan saat itu sama sekali tidak tersentuh fasilitas apapun. Tempat khusunya pun tidak disediakan.
“Gak usah,” kata Gus Dur ketika ada yang mengusulkan tempat khusus bagi para wartawan, “mereka di sini kan untuk kepentingan mereka.”
Ketika ada usulan untuk menyediakan makan siang pada mereka, lagi-lagi beliau menolak, “Buat apa? Mereka sudah dapat uang makan di tempat kerja mereka.”
Dari kebijakan semacam ini, Gus Yahya pun terkadang tidak sampai hati menyaksikannya. Tanpa fasilitas, mereka nampaknya betul-betul kurang bermartabat. Namun demikian, Gus Yahya mengibrah satu hal dalam konteks ini, bahwa Gus Dur tidak ingin para wartawan bias dalam menulis berita tentang istana. Sebab, kalau sudah diberi fasilitas, akan muncul perasan-perasan tidak enak dalam benak mereka. Dan pada akhirnya akan bias dalam menulis berita.
Sebagaimana judul yang termaktub, inti sari dari buku, yang bentuknya mungil ini, merupakan upaya nyata Gus Yahya dalam meneruskan perjuangan Gus Dur dalam membangun peradaban di Indonesia atau bahkan dunia. Gus Yahya mengistilahkan “Menghidupkan Gus Dur”. Kata beliau, untuk bisa menghidupakan Gus Dur, pertama-tama tentu dengan memahami pokok-pokok gagasan Gus Dur. Menurut Gus Yahya, ada tiga pokok gagasan Gus Dur yang harus kita perjuangkan, 1) dialog dan toleransi di dalam kebhinekaan, 2) demokrasi, dan 3) kemanusiaan, yang intinya adalah hak asasi. (hal: 143—144)
Toleransi
Contoh paling representatif dalam konteks ini adalah kebijakan Gus Dur dalam mencabut Intruksi Presiden no 4, 1967, yang diskriminatif terhadap WNI etnis Tionghoa. Di masa Gus Dur juga, negara secara resmi mengakui agama Kong Hu Cu. Sebagai bentuk terima kasih, pada 10 Maret 2004, warga Tionghoa menobatkan beliau sebagai Bapak Tionghoa. Dari dua kebijkan ini, tidak perlu ditanya, soal ketoleransian seorang Gus Dur dan perjuangan beliau dalam dalam hal ini.
Demokrasi
Dalam kaitannya dengan PKB, beberapa kali Gus Dur membuat para Kiai marah. Saat para Kiai berembuk merekomendasikan calon dari PKB, Gus Dur malah merekomdasikan orang lain. Dalam buku catatan kenangan Gus Yahya ini, kejadian di Situbondo, 1999, adalah ilustrasi paling dramatis tentang bagaimana Gus Dur sengaja mengganggu. Pada pemilu pertama setelah reformasi, PKB dominan di Situbondo. Bupati dan Wakilnya orang PKB dan 29 dari 45 DPRD orang PKB. Dan semuanya adalah pengikut Kiai Fawaid As’ad. Saat Kiai Fawaid terpilih sebagai dewan syuro cabang Situbondo, Gus Dus tidak mau menandatangani SK-nya dengan macam-macam alasan. Menurut Gus Yahya, alasan tersebut sengaja dicari-cari, sampai akhirnya Kiai Fawaid putus asa dan Kembali ke PPP.
Dari kasus ini, kata Gus Yahya, kita baru bisa melihat dengan jernih pada pemilu 2004. Pada saat itu perolehan kursi PKB di DPRD Situbondo merosot menjadi 15, sementara PPP 13 kursi, sebab ada Kiai Fawaid. Dari fakta itu, lanjut Gus Yahya, kita bisa mengatakan bahwa Gus Dur membuat di Situbondo untuk menciptakan politik yang lebih menjamin demokrasi, walaupun ia harus melukai diri sendiri.
Kemanusiaan
Gus Yahya, dalam konteks kemanusiaan, mengungkap bahwa memuliakan kemanusiaan atau memuliakan martabat manusia adalah salah satu obsesi Gus Dur. Oleh karena ini, dalam upaya menghidupkan Gus Dur, obsesi semacam adalah keniscayaan yang harus kita perjuangkan.
Penindasaan dalam sagala bentuk macamnya akan selalu ada setiap saat dan di manapun, baik berskala nasiaonal atau internasional. Dan penindasan merupakan penyakit kemanusiaan paling nyata yang sampai saat ini masih terjadi. Tentu penindasaan dalam segala macamnya adalah menyalahi hak asasi. Dari ancaman penindasaan ini, gagasan menghidupkan Gus Dur akan selamanya relevan dan harus kita kampanyekan.
Walhasil, buku Menghidupkan Gus Dur merupakan upaya nyata dari Gus Yahya yang berkolaborasi dengan AS Laksana sebagai penulis untuk menghidupkan kembali pokok-pokok gagasan Gus Dur yang harus kita perjungkan bersama. Untuk dapat menghidupakannya, sebagaimana yang telah disinggung di atas, yaitu dengan memahami pokok-pokok gagasan tersebut. Oleh sebab itu, membaca buku Menghidupkan Gus Dur, adalah salah satu upaya kita memahaminya. Selamat membaca!
Keterangan Buku:
Judul: Menghidupkan Gus Dur (Catatan Kenangan Yahya Cholil Tsaquf)
Penulis: AS Laksana
Penerbit: LBBooks, Jagakarsa, Jakarta
Cetakan I: Desember 2021
kontributor : Syifaul Qolub, Santri Pondok Pesantren Nurul Cholil Bangkalan