Bernama Abu Bakar Dulaf bin Juhdar as-Syibli, adalah seorang sufi agung dari Khurasan sana yang lahir pada 247 H di Samara, Baghdad. Ayahnya adalah seorang pejabat Istana.
Sebelum memulai laku sufismenya, as-Syibli mengabdikan dirinya pada negara sebagai Gubernur Demavend. Ia dipanggil ke Baghdad untuk dilantik, dan di kota ini lah ia bertaubat. Setelah mengalami fase pertaubatan, ia kemudian berguru kepada Khair al-Nassaj, lalu dikirim untuk belajar kepada Imam Junaid oleh Khair al-Nassaj. Sebagai salah satu murid Imam Junaid, Fariduddin Attar dalam Tadzkiroh al-Auliya’ menyebut as-Syibli menjadi tokoh terkemuka dalam peristiwa al-Hallaj yang menghebohkan itu.
Saat sampai pada puncak spiritualnya, kelakuan as-Syibli menjadi eksentrik. Akibatnya, namanya menjadi aib dan ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa dengan tangan dirantai. Kelakuan anehnya telah membuat masyarakat sekitar kala itu mengklaim as-Syibli sudah gila. Namun, jika dilihat secara mendalam, kelakuan anehnya itu banyak mengandung kritikan terhadap kehidupan masyarakat kala itu. Salah satunya seperti kisah berikut:
Suatu hari Syibli berlari-lari membawa sepotong kayu yang dibakar di kedua ujungnya.Orang-orang keheranan melihat tingkah anehnya itu. “hendak kemanakah engkau?” Mereka bertanya kepada Syibli.
“Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan surga dengan api di ujung lainnya,” Syibli menjawab, “Sehingga manusia bisa beribadah semata-mata karena Allah”.
Masyarakat sekitar kala itu menganggap Syibli telah gila dengan kelakuan anehnya itu. Tapi sebenarnya As-Syibli hanya ingin menyadarkan mereka tentang esensial ibadah. Ibadah itu ditunaikan bukan hanya sebatas formalitas ataupun penggugur kewajiban namun haruslah transendental memusatkan sepenuh usaha hanya kepada-Nya.
As-Syibli mencoba mengkritik spiritualitas masyarakatnya yang cenderung berniaga; Beribadah karena iming-iming surga atau karena takut pada neraka. Ibadah itu seharusnya, kata As-Syibli, sepenuhnya karena Allah.
As-Syibli mencoba mengingatkan kepada masyarakat beribadah itu harus ikhlas. Tak penting nanti masuk surga ataupun tidak, karena titik tekan nilai filosofis dari ibadah itu sendiri adalah menyembah murni karena Allah.