Banyak komentar-komentar tokoh ulama tentang kecerdasan Imam Syafi’i. Diantaranya, Ibrahim bin Abi Thalib Al-Hafidz pernah berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ibnu Rahawaih, maka dia menjawab, ‘Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling cerdas di antara mereka semua.”
Saking cerdasnya Imam Syafi’i, terutama dalam bidang fiqh, sampai-sampai Imam Al-Humaidi berkata, “Aku telah mendengar dari Sayyid Al-Fuqaha’, yaitu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.” Dari kecerdasan beliau yang luar biasa, beliau sampai dijuluki Sayyid al-Fuqaha’ (Tuan para ahli Hukum).
Ada satu cerita menarik dari salah satu Imam besar madzhab ini, yakni ketika beliau ditanya tentang dalil Ijma’ dimana butuh waktu tiga hari bagi beliau untuk bisa menjawabnya.
Kisah ini diceritakan dalam kitab Al-Imla’ (hal. 141-143) (kitab komentar dari Syarah Mahalli atas Al-Waraqat) oleh Dr Amjad Rasyid.
Suatu ketia ada seorang laki-laki tua datang ke majlis Imam Syafi’i. Dia berkata, “Apakah dalil dan bukti dalam agama Allah ?”
Imam Syafi’I menjawab, “Kitabullah.”
Laki-laki itu bertanya, “Apa lagi?”
Imam Syafi’I menjawab, “Sunnah Rasulullah.”
Laki-Laki itu menjawab, “Kesepakatan Umat.”
Laki-Laki itu bertanya, “Dari mana kamu bisa mengatakan kesepakatan umat.”
Imam Syafi’I diam.
Laki-laki itu berkata, “Aku beri kamu waktu tiga hari.”
Imam Syafi’i pulang. Di rumah dia membaca dan terus mencari jawabannya. Tiga hari kemudian laki-laki tua itu datang lagi ke majlis Imam Syafi’i. Dia duduk setela memberi salam. Imam Syafi’I berkata kepadanya, “Aku telah membaca Al-Qur’an siang dan malam sebanyak tiga kali. Sehingga Allah menunjukkanku kepada firman-Nya Ta’ala,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء: 115]
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’ : 115).
Barangsiapa menyelisihi apa yang disepakati oleh ulama muslimin tanpa ada dalil shahih, niscaya Allah memasukkannya ke Neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Laki-laki tua itu berkata, “Kamu benar”.
Kisah Imam Syafi’i ini setidaknya memberi kita pelajaran bahwa jangan menjawab suatu persolan khususnya hukum jika belum tau jawabannya. Jika memang tidak tau, maka jangan menjawab.
Selain itu, kisah di atas mencerminkan sifat tawadhu yang dimiliki Imam Syafi’i. Beliau tidak gensi jika benar-benar belum tau akan jawabannya. Padahal kalau tahu beliau itu merupakan Imam besar yang pendapatnya diikuti hampir seluruh ummat manusia di belahan dunia.