Adanya Pandemi virus Corona bukan hanya mengubah tatanan kehidupan sosial tetapi juga membuat sedikit aturan yang mengatur tentang tatacara beribadah kita yang mungkin sebagian orang dilema terhadap aturan tersebut. Hal demikian tidak lain merupakan upaya dari pemerintah untuk memutus rantai penularan virus tersebut karena walaupun kita sedang menghadapi pandemi virus Corona bukanlah menjadi halangan untuk kita terus melakukan sebuah ibadah.
Salah satu aturannya adalah merenggangkan barisan shalat (Shaf) dengan jarak minimal 1 m dan melaksanakan shalat menggunakan masker yang akan kita ulas dalam tinjauan fikihnya. Yang pertama; yaitu merenggangkan barisan shalat (Shaf) dengan jarak 1 m yang mana hal tersebut awalnya merupakan sebuah pekerjaan yang dimakruhkan bahkan bisa menghilangkan fadhilah jama’ah. Sebagaimana yang tertera dalam kitab I’anatut Tholibin :
(وَكُرِهَ لِمَأْمُوْمٍ انْفِرَادٌ عَنِ الصَّفِّ الَذِي مِنْ جِنْسِهِ إِنْ وَجَدَ فِيْهٍ سِعَةً بَلْ يَدْخُلُهُ وَشُرُوْعٌ فِي صَفٍّ قَبْلَ إِتْمَامِ مَا قَبْلَهُ مِنَ الصَّفِّ (قوله: إن وجد فيه) – أي الصَّفِّ )- سِعَةً، بِأَنْ كَانَ لَوْ دَخَلَ فِي الصَّفِّ وَسِعَهُ، مِنْ غَيْرِ إِلْحَاقِ مَشَقَّةٍ لِغَيْرِهِ (اعانة الطالبين ج ٢ ص ٣٠)
Akan tetapi perlu dipahami bahwasanya ibarat diatas dilakukan ketika tidak ada udzur. Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwasanya kemakruhan tadi hilang ketika ada udzur sebagaimana permasalahan yang kita hadapi sekarang dalam konteks menjaga keselamatan diri dari penyebaran virus Covid-19 yang telah dijelaskan dalam kitab Nihayah:
إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الْفُرْجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لَمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج ٢ ص ١٩٧)
Dan juga diteruskan dalam kitab Hasyiah Sibromalisi yang menjelaskan bahwasanya fadhilah jamaahnya tidak hilang karena hal tersebut dilakukan bukan atas dasar kecerobohan melainkan karena adanya hajat.
(قَوْلُهُ: لِعَدَمِ التَّقْصِيرِ إلَخْ) أَيْ فَلَا تَفُوتُهُمْ الْفَضِيلَةُ (حاشية الشبراملسي)
Begitupun yang kedua tentang permasalahan shalat menggunakan masker yang hukum asalnya makruh berdasarkan keterangan hadits Nabi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ
Dan mendapatkan penegasan dalam kitab Majmu’ oleh imam Nawawi dengan ungkapan:
وَيُكْرَه أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَمِهِ فِي الصَّلَاةِ إلَّا إذَا تَثَاءَبَ فَإِنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ الْيَدِ …. وَهَذِهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ لا تمنع صحة الصَّلَاةِ (المجموع شرح المهذب ج٣ ص ٧١٩)
Namun, kembali pada permasalahan yang awal bahwasanya hal tersebut dilakukan karena atas dasar mengantisipasi penyebaran Covid-19 maka ulama’ sepakat kemakruhan tersebut akan hilang karena masuk dalam konteks hajat sebagaimana yang dikutip dalam kitab Mausu’ah:
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا فِي الصَّلاَةِ وَالإْحْرَامِ، وَلأِنَّ سَتْرَ الْوَجْهِ يُخِل بِمُبَاشَرَةِ الْمُصَلِّي بِالْجَبْهَةِ وَيُغَطِّي الْفَمَ ، وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُل عَنْهُ، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ كَحُضُورِ أَجَانِبَ، فَلاَ كَرَاهَةَ.( الموسوعة الفقهية ج ٤١ ص ١٣٦)
Penulis : M3 Syaichona
Editor : Ismail Zaen