Pada suatu hari habib Ali Al-Jufri pernah ditanya oleh seorang mahasiswa dari Universitas Kairo tentang halal haramnya cinta. Kemudian beliau pun menjawab, “Cinta itu wajib. Cinta itu adalah kewajiban hati. Mengapa? Karena orang yang tidak memiliki cinta maka dia bukanlah manusia.”
Tapi yang kita maksud adalah cinta yang sebenarnya. Apa itu cinta? Banyak sekali para pemuda sekarang yang merendahkan makna cinta. Cinta adalah sebuah kecondongan hati. Cinta yang karena begitu dalam hakikatnya, sampai-sampai para ulama tidak pernah sepakat mengenai definisi dari cinta.
Tapi sekarang, cinta yang agung dan mulia itu seringkali dijual murah untuk melampiaskan nafsu dan syahwat.
Dari penuturan beliau diatas memberikan substansi bahwa cinta kepada orang lain adalah suatu kelumrahan hati yang diperbolehkan. Namun untuk merealisasikan cinta tak sedikit orang-orang yang sampai terjerumus dalam lembah syahwat yang dapat merusak, mengabaikan norma adat, agama dan budaya.
Agama islam pun memberikan beberapa batasan untuk menjaga hal tersebut. Diantaranya landasan ayat Al-Qur’an dan potongan sebuah hadist berikut ini:
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُواْ فُرُوجَهُمْ ذالِكَ أَزْكَىا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (النور : 31)
“Katakanlah kepada para lelaki mukmin yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: ayat 31)
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ مَحْرَمٌ (رواه أحمد والشيخان عن عامر بن ربيعة)
“Tidak boleh seorang laki-laki dan perempuan menyepi dengan seorang yang tidak halal baginya, karena yang ketiga dari mereka adalah setan, kecuali disertai mahram.” (Hadist riwayat Ahmad dan Syaikhoni (Bukhari dan Muslim) dari Amir bin Raibah).
Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengungkapkan dalam salah satu karya masterpiece-nya, yaitu; Al-Fiqhul Islami Waadillah yang menyinggung ayat diatas. Tentang keharaman seseorang laki-laki melihat aurat perempuan yang bukan siapa-siapanya (ajnabiyah) walaupun perempuan tersebut sudah lanjut usia. Beliau juga menuturkan tetap haram meskipun memandang perempuan tersebut dengan tanpa syahwat dan tidak timbul fitnah, sebab yang demikian dapat mencuatkan prasangka fitnah dan tergugahnya syahwat.
Bukan hanya memandang saja, bahkan dalam justifikasi hukum Fikih pun berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram tidak dilegalkan kecuali ada motif hajat atau darurat, seperti bertransaksi, berobat dan selainnya.
Sedangkan dalam hadist diatas, menyuratkan maksud dari ketidak bolehannya khalwat (menyepi) dengan seorang perempuan yang ajnabiyah. Syekh Zakariya Yahya Al-Anshori dalam kitabnya Hasyiatul Jamal Ala’ Syarhil Minhaj menuturkan kaidah dari khalwat adala berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu tempat yang dapat menimbulkan persepsi jelek (kecurigaan) secara adat.
Kendati demikian terdapat kelonggaran bagi mereka yang benar-benar ingin menjalin ikatan cinta dalam tali pernikahan ketika hendak meminang seorang perempuan. Yaitu pertama; kelegalan berinteraksi dan memandang wajah dan kedua telapak tangan dalam ruang lingkup madzhab Syafi’iyah, kedua; memandang kedua telapak kaki dalam ruang lingkup madzhab Hanafiyah dan ketiga; memandang anggota yang tampak ketika berdiri melakukan suatu pekerjaan yaitu; wajah, leher, lengan, telapak kaki, kepala dan betis dalam ruang lingkup madzhab Hanabilah.
Namun meski begitu, tidak ada legitimasi bagi mereka yang sudah berada dalam pusaran tunangan untuk bermesraan berdua saja. Apalagi berboncengan misalnya menikmati desiran angin malam, berteduh dibawah terik panas mentari siang, berlarian bersama dibawah tarian hujan, atau suap-suapan berdua dalam piring yang sama serta lain sebagainya.
Tetapi Fikih tidak kaku menyikapi dua insan yang saling mencintai agar mereka bisa mengenal pasangannya lebih dalam lagi sebelum melebur dalam bingkai pernikahan. Ada cara efektif agar hal itu bisa terjadi tanpa menyalahi norma agama yang tersedia serta tidak menodai keagungan dan kemuliaan cinta sebagaimana yang telah dituturkan oleh habib Ali Al-Jufri diatas.
Yaitu; mengirim seorang delegasi untuk menyelidiki masing-masing pasangan. Dengan syarat orang tersebut harus mahram atau sejenis dengan yang diselidiki. Syekh Ibrahim Al-Bajuri dalam salah satu karya terkenalnya, yaitu kitab Hasyiyatul Bajuri memaparkan; mengirim seseorang kepada pasangan kemudian ia meneliti dan mencari tahu sifat-sifatnya maka seorang yang diutus itu, bisa mengabarkan sesuatu yang tidak bisa diketahui hanya dengan memandang pasangan saja.
Bercengkerama bersama seraya berbincang-bincang namun harus disertai mahram agar terhindar dari khalwat yang terlarang. Selamat mencoba.
Penulis : Mthree Syaichona
Editor : Umair
Referensi : Ismael Amin Kholil, Catatan dari Tarim, Najhati Pena, Hal. 136.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami Waadillah, Darul Fikri, Hal. 31-38.
Syekh Zakariya Yahya Al-Anshori, Hasyiatul Jamal Ala’ Syarhil Minhaj, Maktabah Syamila, Juz 8, Hal. 85.
Syekh Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyatul Bajuri, Maktabatul Syuruq Addauliyyah, Juz 3, Hal. 214.
Syekh Muhammad Al-Khodimi Al-Hanafi, Bariqotul Mahmudi’ah, Juz 5, Hal. 192.
Tahun depan nyoba yuk