Berbicara tentang Al-Qur’an sebagai mukjizat paling mulia dan paling sempurna, maka tidak lepas dari beberapa kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Dengan Al-Qur’an, umat Nabi Muhammad memiliki pedoman dan referensi yang sangat valid, tanpa perlu diragukan kualitasnya, sangat kredibel dan begitu sempurna. Begitu juga dengan umat sebelumnya. Jika Nabi Musa menerima Kitab Taurat sebagai hidayah dan petunjuk bagi umatnya, yaitu Bani Israil, Nabi Daud menerima kitab Zabur, dan Nabi Isa menerima kitab Injil, maka Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an sebagai hidayah dan petunjuk bagi umatnya.
Kitab Taurat, Zabur dan Injil hanya menjadi kitab suci bagi umat tertentu, dan diturunkan pada waktu tertentu pula, berbeda dengan Al-Qur’an, selain sebagai kitab suci untuk membenarkan kitab-kitab sebelumnya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan ushuluddin seperti iman kepada Allah dan pada hari akhir, Al-Qur’an juga menghapus (naskh) sebagian syariat yang sudah menjadi ketetapan sebelum datangnya Al-Qur’an, namun tidak sesuai dengan keadaan umat Nabi Muhammad. Semua itu sudah terekam dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah, Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً.
Artinya, “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Ma’idah 48).
Sayyid Ath-Thantawi dalam Tafsir Al-Wasith memberikan pandangan dan alasan di balik ayat di atas, bahwa Allah menjadikan Al-Qur’an dan menurunkannya pada umat Islam sekaligus sebagai syariat paling akhir, juga sebagai penutup bagi kitab-kitab yang lain. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang paling kongkrit, kredibel, universal, paling agung dan paling sempurna. Kesempurnaan dan kelebihan Al-Qur’an ketika dibanding dengan kitab sebelumnya bisa dilihat dari isi dan kandungan yang terdapat di dalamnya.
Al-Qur’an mengkombinasikan semua amal kebaikan yang terdapat dalam kitab sebelumnya. Tidak hanya itu, Allah menambah kebaikan dalam Al-Qur’an yang tidak bisa ditemukan dalam kitab sebelumnya. Dengan inilah, Allah menjadikan kitab suci Al-Qur’an sebagai mukjizat paling sempurna, sangat kredibel, dan mendapatkan penjagaan langsung dari Allah swt atas segala kemungkinan untuk merubahnya. (Sayyid Muhammad Ath-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2009], juz 1, halaman 1286).
Perbedaan Al-Qur’an dengan Kitab Sebelumnya
Ada beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dan Kitab sebelumnya, yaitu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, sedangkan Kitab sebelumnya Allah turunkan secara langsung tanpa adanya tahapan. Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً
Artinya, “Dan orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS Al-Furqan: 32).
Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan satu kali secara keseluruhan dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad oleh Malaikat Jibril secara berangsur-angsur, perlahan, tidak spontanitas. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur sesuai dengan kebutuhan dan kejadian umat. Semua itu terjadi dan diterima oleh Rasulullah selama dua puluh tiga tahun. (Sayyid Muhammad Ath-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, 2009, juz 1, halaman 4545).
Namun, dari penjelasan di atas timbul pertanyaan kenapa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur, bahkan sampai dua puluh tiga tahun? Sedangkan kitab sebelumnya diturunkan secara langsung, spontan dan satu kali. Dan, apa hikmah di balik peristiwa ini? Mari simak penjelasan di bawah ini.
Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur
Sulthanul Auliya’ Syekh ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani (470-561 H), dalam kitab monumentalnya, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq berpendapat bahwa yang lebih baik adalah Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur daripada kitab sebelumnya yang diturunkan secara sepontan. Syekh Abdul Qadir mengatakan:
أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ جُمْلَةً وَاحِدَةً وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ مُتَفَرِّقًا. فَقِيْلَ أَيُّهُمَا أَحْسَنُ نُزُوْلًا؟ اَلْقُرْأَنُ أَحْسَنُ.
Artinya, “Sungguh, Allah menurunkan Kitab (sebelum Al-Qur’an) satu kali secara keseluruhan, dan menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) secara terpisah. Maka, jika ditanyakan: di mana yang lebih baik turunnya? (Maka jawabannya) Al-Qur’an lebih baik.”
Menurut Syekh Abdul Qadir, diturunkannya Al-Qur’an secara terpisah dan waktu yang berbeda lebih baik daripada diturunkannya Kitab sebelumnya secara keseluruhan dengan satu waktu. Kenapa bisa demikian?
Menurut Syekh Abdul Qadir, karena sesungguhnya, ketika Allah menurunkan taurat secara spontanitas, maka Bani Israil menerimanya, kemudian sedikit mengamalkannya, dan sangat berat bagi mereka (mengerjakan) semua perintah dan larangan yang ada dalam Kitab Taurat. Kemudian mereka berkata, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati.”
Ternyata, diturunkannya Kitab suci secara langsung memberikan tantangan emosional yang sangat besar kepada kaum Bani Israil. Bahkan, tantangan yang mereka terima justru tidak membuat mereka berubah dan mengikuti apa yang diperintahkan dalam kitab suci mereka. Justru, mereka hanya mendengarkan isi dan kandungan yang terdapat di dalamnya, namun sama sekali tidak mereka taati kecuali sedikit.
Ibaratnya, Kitab Taurat yang mereka terima tidak lebih dari pengingat biasa, yang isinya boleh dilakukan sesuai keinginan mereka, larangannya boleh ditinggalkan sesuai keinginannya. Padahal, semua perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya harus mereka lakukan dan tinggalkan secara menyeluruh, tanpa memilah dan memilih.
Berbeda dengan Al-Qur’an, Allah menurunkannya secara berangsur-angsur dan terpisah, maka ayat pertama yang Allah perintahkan kepada orang mukmin adalah perintah mengucapkan lailaha illallah muhammadur rasulullah dan memberikan jaminan kepada mereka ketika mengucapkan kalimat tersebut dengan jaminan surga. Maka mereka mendengarkan dan menaatinya, kemudian Allah memerintahkan mereka dengan mengerjakan dua kali shalat, dua rakaat sebelum terbitnya matahari dan dua rakaat setelah terbenamnya matahari, kemudian memerintahkan mereka dengan shalat lima waktu.
Begitupun seterusnya, setelah itu Allah memerintahkan umat Islam untuk melakukan shalat Jumat dengan berjamaah, setelah peristiwa hijrahnya nabi, kemudian memerintahkan Zakat, setelah itu menambah dengan perintah puasa satu bulan selama bulan Ramadhan, selanjutnya ditambah dengan jihad, setelah itu ditambah dengan perintah haji. Setelah semua perintah dan larangan itu selesai, Allah menurunkan ayat penutup tepatnya ketika dilaksanakannya haji wada’, yaitu:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا
Artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS Am-Ma’idah: 3). (Syekh ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani, Al-Ghuniah li Thalibi Thariqil Haq, [Bairut: Darul Ihya’, Turats al-Islami, Lebanon, 1996], juz 1, halaman 290).
Dari penjelasan di atas sangat tampak, bahwa terdapat hikmah yang sangat besar di balik diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Apa jadinya jika Al-Qur’an diturunkan secara spontanitas sedangkan umat Islam akan mengingkari atau bahkan menolaknya? Oleh karenanya, jika dicermati, semua ini tidak lain selain sebagai wujud rahmah bagi umat Nabi Muhammad. Allah tidak menginginkan umat akhir zaman, menerima perintah dan larangan-Nya secara spontan, Allah mengehendaki semua perintah dan larangan itu diturunkan di waktu yang berbeda dan keadaan yang berbeda pula, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan umat Islam saat itu.
Kontributor : Muhammad Rijal, Pegiat Literasi Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan
Editor : Sunnatulloh