Adalah Abu Abdullah Muhammad b. Ali b. Husain al-Hakim at-Tirmidzi. Hakim at-Tirmidzi lahir di Oxus (maa waraa’a an-nahr), Asia Tengah sekitar tahun 205 H. Ia seorang sufi agung yang kreatif dan terkemuka. Menurut para pengkaji tasawuf, pemikiran Hakim at-Tirmidzi tentang ilmu ruhani banyak mempengaruhi pemuka sufi setelahnya, termasuk al-Ghazali dan Ibnu Arabi.
Satu hal yang unik dari seorang pemikir tasawuf ini adalah ia mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi Khidir as tentang ilmu ruhani. Nabi Khidir as lah yang banyak mempengaruhi pikirannya di bidang tasawuf.
Kisah perjalanan ruhaninya bersama nabi Khidir itu banyak direkam oleh Fariduddin Attar, sufi besar abad ke-13 dalam karyanya Tadzkirah al-Auliya’.
Kala itu, Hakim At-Tirmidzi bersama dua temannya hendak melakukan pengembaraan mencari ilmu. Ketika mereka hendak berangkat, ibunya sangat sedih.
“Wahai anakku,” sang ibu berkata. “Aku seorang perempuan yang sudah tua renta dan lemah, bila engkau pergi, tak ada lagi seorangpun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini engkaulah tempat ibu bersandar. Kepada siapakah engkau menitipkan ibunda yang sebatang karang dan lemah ini?”
Kata-kata ini menyentuh hati terdalam At-Tirmidzi, ia membatalkan niatnya dan memilih merawat ibunya, sementara kedua temannya tetap berangkat mengembara mencari ilmu.
Singkat cerita, ibundanya wafat. Ia tumpahkan beban hatinya di pemakaman. Berjam-jam ia menangis meratapi nasibnya. Itu dilakukannya berhari-hari, sampai suatu hari seorang lelaki lanjut usia itu datang kepadanya.
“Nak, mengapa engkau menangis?”
At-Tirmidzi menceritakan segala keluh kesahnya itu.
“Maukah kamu menerima pelajaran dariku setiap hari..?” Orang tua itu bertanya kepada At-Tirmidzi.
“Aku bersedia,” jawab At-Tirmidzi.
“Maka,” at-Tirmidzi mengisahkan dalam otobiografinya, “Setiap hari ia memberikan pelajaran kepadaku. Setelah tiga tahun barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu Nabi Khidir,”.
Hakim at-Tirmidzi merupakan pemuka sufi yang sangat produktif. Hebatnya lagi, semua karyanya ditulis berdasarkan pengalamannya bersama nabi Khidir di dalam mimpi. Namun sayangnya, sebagian karyanya itu dihanyutkan ke dalam sungai. Seorang pakar tasawuf dari Perancis, Claude Addas, menyatakan bahwa Ibnu ‘Arabi pernah mengatakan, kalau seandainya Imam Hakim at-Tirmidzi tidak menghanyutkan sebagian karya tulisnya di sungai, maka Ibnu ‘Arabi tidak merasa perlu menulis kitab tasawuf.
Mengenai penghanyutan kitab-kitabnya itu, al-Warraq, selaku murid dari Hakim at-Tirmidzi, mengisahkan secara detail kejadiannya:
Suatu hari at-Tirmidzi menyerahkan kitab-kitabnya kepada al-Warraq untuk dibuang ke sungai Oxus. Ketika diperiksa ternyata kitab-kitab itu penuh dengan seluk-beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. al-Warraq tidak tega melaksanakan perintah gurunya itu. Kitab-kitab itu disimpannya di dalam lemari. Ia kemudian mengatakan kepada at-Tirmidzi bahwa kitab-kitab itu sudah dilempar ke dalam sungai. Tapi at-Tirmidzi bertanya, “Apa yang engkau saksikan setelah itu?”
“Tidak ada.” jawab al-Warraq.
“Kalau begitu engkau belum membuang kitab-kitab itu ke dalam sungai. Pergilah dan buanglah kitab-kitab itu,” perintah at-Tirmidzi.
“Ada dua persoalan,” kata al-Warraq dalam hati. “Yang pertama, kenapa ia ingin membuang kitab-kitab ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan disaksikan olehku nanti setelah mencampakkan kitab-kitab ini ke dalam air?”
al-Warraq terus berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan kitab-kitab itu. Tetapi seketika itu juga air sungai terbelah dan al-Warraq melihat sebuah peti yang terbuka tutupnya. Kitab-kitab masuk ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut tertutup dan air sungai bersatu kembali. “Aku terheran-heran menyaksikan kejadian itu.” Kata al-Warraq.
Ketika kembali, al-Warraq langsung bertanya, “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apa rahasia dibalik semua ini?”
at-Tirmidzi kemudian menjelaskan, “aku telah menulis kitab-kitab mengenai ilmu Sufi dengan keterangan yang sulit dipahami oleh orang awam. Saudaraku Khidir meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawa oleh seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya.”
Itulah sedikit kisah perjalanan ruhani Hakim at-Tirmidzi, sufi agung yang banyak mempengaruhi pemikir tasawuf setelahnya.