Dalam sejarah perkembangan Islam, pemalsuan hadits merupakan suatu kenyataan. Banyak motif yang melatarbelakangi seorang pemalsu membuat pernyataan yang disandarkan kepada Nabi paling tidak untuk menpatkan justifikasi sebagai ajaran agama. Sehingga sulit membedakan antara hadits maudhu dengan hadis shahih.
Ada tiga versi mengenai makna al-Maudhu secara etimologinya. Versi pertama mengatakan, al-Maudhu mereupakan bentuk isim ma’ul yang diambil dari kata وضع الشيئ يضعه وضعا yang berati meletakkan sesuatu. Versi kedua mengataka, asal dari kata al-Maudhu adalah الضعة yang memiliki arti derajat yang rendah. Sedangkan versi ketiga mengatakan bahwa al-Maudhu berasal dari kata وضعت المرأة ولدها. Dari ketiga versi tersebut menunjukkan bahwa kata al-Maudhu memiliki tiga arti, yakni guru, rendah, dan melahirkan. (Abi Amr ‘Ustman bin Abdirrohman, Muqhaddimah Ibnu as-Shalah, Dar Kutub al-Ilmiyah, Hal 148)
Sedangkan Secara terminologi, Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits mendenisikan hadits palsu (maudhu’) dengan kalimat berikut ini:
هو الكذب المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Hadits maudhu’ adalah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.” (Mahmud Thahan, Taysiru Musthalahil Hadits, al-Haramain., hal 89)
Sementara itu, Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliliy mendefinisikan Hadits Maudhu sebagai berikut:
هو ما إختلقه وافتراه واحد من الناس، ونسبه إلى الرسول صلى الله عليه وسلم أو إلى الصحابي أو إلى التابعين
Artinya, “Hadits Maudhu adalah sesuatu yang diada-adakan oleh seorang manusia dan disandarkan kepada Rasulullah Saw atau kepada sahabar nabi atau kepada thabi’in”. (Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Malikiy, al-Qhawaid al-Asasiyah Fi Ilmi Mushtalahi al-Hadits, Ash-Shofwah al-Malikiyah., hal 47)
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya.
Hadits Maudhu merupakan paling buruknya hadits da’if. Sebab, kecacatan dalam Hadits Maudhu adalah unsur kebohongan atas nama Rasulullah Saw. Namun sebagian ulama meganggap Hadits Maudhu merupakan hadits tersendiri dan tidak termasuk dari bagian hadits da’if. (Mahmud Thahan, Taysiru Musthalahil Hadits, al-Haramain., hal 89)
Menurut para ahli hadits, Hadits Maudhu bukanlah sebuah hadits. Akan tetapi, karena bentuknya seperti hadits yang didalamnya ada penyebutan sanad dan matan maka para ulama menyebutnya hadits. (Al-Hafidz Ibn Hajar, al-Wait, hal 319)
Mayoritas ulama sepakat meriwayatkan hadits maudhu’, apalagi berkata bohong atas nama Nabi Muhammad, adalah dilarang. Rasulullah SAW bersabda:
من كذب علي معتمدا فليبوأ مقعده من النار
Artinya, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah).
Tidak hanya pemalsu hadits yang diancam oleh Rasulullah, orang yang menyebarkan hadits palsu pun juga diancam oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda:
من حدث عني بحديث يرى أنه كاذب فيه أحد الكذابين
Artinya, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal ia mengetahui informasi itu bohong, maka ia termasuk pembohong,” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits ini, para ulama kemudian memahami bahwa meriwayatkan hadits maudhu hukumnya tidak boleh, begitu pula menyampaikan dan menyebarkan hadits maudhu’. Dibolehkan menyampaikannya dengan syarat untuk memberi tahu kepada khalayak kalau hadits tersebut bukanlah hadits shahih, tetapi hadits maudhu’.