Al-Imam Abi Amr ‘Ustman bin Abdurrohman atau yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sholah dalam muqhadimah-nya menyebutkan orang yang membuat Hadits Maudhu sangat beragam. Namun, yang paling buruk adalah golongan orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai orang zuhud. Mereka membuat hadits palsu dengan tujuan mengharap pahala dari Allah SWT. Selain mereka, Hadits Maudhu juga sering dibuat oleh sebagian sufi sebagaimana yang diakui oleh Ibnu Hajar. Al-Ghazali menganggap perbuatan sebagian sufi ini sebagai tipu daya dari syaitan.
Imam Ibn Sholah juga menyebutkan ada tiga macam hadits maudhu. Tiga macam tersebut sebagai berikut:
Pertama, Seorang pemalsu hadits membuat sendiri sauatu kalam kemudian disandarkan kepada Rasulullah Saw atau kepada sabahat atau kepada thabi’in. Salah satu contohnya yang disebutkan oleh para ulama hadits adalah ungkapan:
لو أحسن أحدكم ظنه بحجر لنفع
Ungkapan ini merupakan salah satu contoh kalam yang dibuat oleh pemalsu hadits lalu disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Kedua, Ungkapan atau kalam yang diambil oleh pemalsu hadits dari para ahli hikmah, sahabat atau thabi’in, kemudian disandarkan kepada Nabi Saw. Salah satu contoh ungkapan yang diambil adalah ungkapan:
كأنك بالدنيا لم تكن وبالأخرة لم تزل
Kalam ini sebenarnya adalah kalamnya khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz. Namun, oleh pemalsu hadits, kalam ini diambil dan kemudian disandarkan kepada Nabi Saw.
Ketiga, Adakalanya hadits maudhu itu tercipta karena kekeliruan rawi. Sehingga tanpa sengaja dia membuat hadits maudhu seperti yang dialamai Tsabit bin Musa dalam hadits:
من كثرت صلاته بالليل، حسن وجهه بالنهار .
Apa yang terjadi pada Tsabit bin Musa ini dinamakan Syubhah al-Wad’i. (Abi Amr ‘Ustman bin Abdirrohman, Muqhaddimah Ibnu as-Shalah, Dar Kutub al-Ilmiyah, Hal 151)
Cara Mengetahui Hadits Maudhu
Para ulama ahli hadits banyak menyebutkan beberapa cara agar mengetahui hadits maudhu. Salah satunya, Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menyebutkan empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui hadits itu shahih atau bukan. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengakuan dari pemalsu hadits itu sendiri. Misalnya, Abu ‘Ismah Nuh bin Abu Maryam pernah mengaku bahwa ia permah memalsukan hadits terkait keutamaan berapa surat dalam Al-Qur’an. Hadits palsu ini ia sandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas RA.
Kedua, menelusuri tahun kelahiran orang yang meriwayatkan hadits dengan tahun wafat gurunya yang disebutkan dalam silsilah sanad. Kalau perawi hadits itu lahir setelah wafat gurunya, maka hadits tersebut bisa dikategorikan hadits palsu karena tidak mungkin keduanya bertemu.
Ketiga, melihat ideologi perawi hadits. Sebagian perawi hadits ada yang fanatik dengan aliran teologi yang dianutnya. Misalnya, perawi hadits Radhah yang sangat fanatik dengan ideologinya, maka hadits-hadits yang disampaikannya terkait keutamaan ahlul bait perlu ditelusuri kebenarannya.
Keempat, memahami kandungan matan hadits dan rasa bahasanya. Biasanya hadits palsu secara tata bahasa tidak bagus dan terkadang maknanya bertentangan dengan AlQur’an. (Mahmud Thahan, Taysiru Musthalahil Hadits, al-Haramain., hal 91)