Para ahli menyebutnya dengan era post-truth. Kata ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi pasca-kebenaran. Tanpa sadar setiap masa mengalami era ini. Kata yang digunakan pertama kali oleh seorang jurnalis Serbia bernama Tesich pada tahun 1992 ini mendapat predikat sebagai kata paling populer di tahun 2016 oleh Oxford Dictionary.
Era post-truth adalah era di mana kebenaran direduksi menjadi menjadi kebohongan. Secara sederhana era post-truth adalah era di mana orang hanya percaya pada apa yang ingin dia dengar. Dia tidak percaya pada kebenaran faktual. Tapi dia hanya percaya pada apa yang ingin dia percaya. Entah benar atau tidak, yang penting berita itu bagus menurut dia, ya sudah, dia percaya berita itu dan menyebarkannya layaknya itu fakta realitas.
Era pasca-kebenaran atau post-truth ini sebenarnya hampir ada di tiap masa. Tak peduli itu masa Hammurabi di Babilonia atau masa Satria Piningit esok di Nusantara, post-truth dalam berbagai bentuknya akan terus muncul dan mendapat tempatnya.
Tak terkecuali di masa Dinasti Umayyah pada abad dua Hijriah. Sebagaimana sudah dicatat dalam kitab tarikh, Sahabat Ali RA mengalami kekalahan dalam perundingan dengan Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan. Akibatnya bisa diduga, kekuasaan Dinasti Umayyah mendelegitimasi supremasi keluarga Sahabat Ali. Keluarga Sahabat Ali ditolak di mana-mana. Di masa ini, post-truth sangat gencar dengan berbagai macam bentuknya. Sebuah narasi yang awalnya berbunyi “keluarga Ali diduga akan memberontak” diganti dengan “keluarga Ali memberontak” diganti lagi menjadi “keluarga pemberontak” dan akhirnya “keluarga pemberontak itu kafir”.
Maka Dinasti Umayyah membuat framing “Keluarga Ali si Pemberontak itu kafir”. Dalam masa post-truth selalu didengungkan sebuah narasi yang diulang-ulang sehingga muncul framing. Maka sebab itulah fenomena ini disebut post-truth; karena orang percaya pada apa yang mereka ingin percaya, bukan pada fakta.
Propaganda Dinasti Umayyah ini masih terus berlanjut. Bahkan sebagaimana dicatat Ibn Atsir dalam Al-Kamil, persis seperti sekarang, forum khotbah Jumat pun digunakan oleh Dinasti Umayyah sebagai ajang mempropagandakan kekafiran Sahabat Ali radliyallahu ‘anhu. Namun tak lama datang masa pemimpin bijak bernama Khalifah Umar bin Abdil Aziz atau biasa disebut Umar II.
Ibn Atsir mencatat bahwa pada awalnya Khalifah Umar II terbawa arus dengan ikutan mencaci Sahabat Ali. Namun suatu ketika guru beliau yang bernama Ubaydillah mendengar hal ini. Khalifah Umar II dipanggil. “Bagaiamana bisa,” tanya Ubaydillah kepada Umar II, “Allah SWT murka kepada ahlul badri dan peserta Bai’at Ridlwan?”
“Entah,” Jawab Umar II.
“Lantas kenapa kau mencaci Sahabat Ali RA?” Desak Ubaydillah. Umar bin Abdul Aziz terdiam.
“Sejak saat itu,” Umar bin Abdul Aziz bercerita, “Aku tak pernah lagi menghujat dan mencaci Sahabat Ali.” Lalu setelah itu, masih diriwayatkan oleh Ibn Atsir, beliau memerintahkan seluruh wilayah Islam agar tidak lagi mencaci Sahabat Ali bin Abu Thalib, utamanya dalam khotbah Jumat. Dan beliau memerintahkan agar hujatan itu diganti dengan ayat keadilan: “innallaha ya’muru bil ‘adli wal ihsan .. dst.” Warisan dari Umar bin Abdul Aziz ini masih berlangsung sampai sekarang.
Maka di masa informasi yang sangat deras seperti sekarang, kita harus menyaring sesuatu benar atau tidak; baik atau tidak; bermanfaat atau tidak, sama seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Apalagi media di masa kini penuh dengan narasi-narasi “yang mendahului kebenaran”. Maka sudah seyogyanya kita harus melakukan tatsabbut dan tabayyun (cek dan ricek) sebagaimana diajarkan oleh Alquran. Karena budaya cek dan ricek ini ajaran Islam, maka sudah menjadi kewajiban syariat bahwa kita tidak boleh sembarangan dalam mengendalikan jemari kita di layar smartphone. Dalam peribahasa Arab yang masyhur dikatakan, “Pena adalah mulut kedua.” Maka meskipun mulut kita tidak pernah berbohong dan tidak pernah mengadu domba, namun apabila jari jemari kita terus menerus membagikan berita-berita yang tidak diketahui kebenarannya atau bahkan sudah dipastikan kebohongannya, maka itu sama saja dengan buhtan dan namimah yang oleh Allah SWT diancam dengan neraka. Naudzubillah..
Penulis : Gus Kholili Kholil.
Sumber : Majalah Aschal Edisi 26.