Memasuki bulan Dzul Hijjah, selain ibadah shalat Eid, ada ibadah sunnah yang tak kalah dianjurkan bagi ummat islam, yaitu kurban. Menurut sebagian pendapat, dinamakan kurban karena pelaksanaanya bertepatan dengan hari raya idhul adha. Ibadah kurban disyariatkan berdasarkan nash Al-Qur’an surat Al-Kautsar berikut:
{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ}
Artinya, “Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah”
Hukum Berkurban
Hukum berkurban sendiri adalah sunnah muakkadah secara kifayah (kolektif) bagi satu keluarga. Dengan artian bila salah satu anggota keluarga sudah melaksanak kurban, maka yang lain akan bebas tanggungan dan mendapatkan pahalanya juga. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi:
(أَمَّا) الْأَحْكَامُ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ التَّضْحِيَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ – إلى أن قال- قَالَ أَصْحَابُنَا التَّضْحِيَةُ سُنَّةٌ عَلَى الْكِفَايَةِ فِي حَقِّ أَهْلِ الْبَيْتِ الْوَاحِدِ فَإِذَا ضَحَّى أَحَدُهُمْ حَصَّلَ سُنَّةَ التَّضْحِيَةِ فِي حَقِّهِمْ
Artinya, “Imam Syafi’I dan pengikutnya berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah mu’akkadah…. Menurut para ulama dari kalangan kami, berkurban masuk dalam katagori sunnah kifayah bagi satu keluarga. Karenanya jika salah satu dari mereka telah berkurban, tercapailah kesunahan berkurban bagi mereka semua.” (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 8, hal 384)
Kesunnahan berkurban ini tertuju pada setiap orang muslim yang berakal, merdeka, serta mampu untuk berkurban. Mengenai katagiri mampu berkurban, Imam al-Baijuri menjelaskan, bahwa yang dimaksud mampu adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib ia nafkahi pada saat hari raya sampai hari tasyriq, tanggal 13 Dzulhijjah. Apabila hartanya melebihi dari kebutuhan di hari tersebut, maka ia sudah dikatagorikan mampu berkurban. Bagi yang sudah memenuhi katagori mampu, makruh meninggalkan kesunnahan berkurban. Imam al-Baijuri mengatakan:
قال: لا أرخص في ترك الأًضخية لمن قدر عليها، ومراده رضي الله عنه أنه يكره تركها للقادر عليها
Artinya, “Imam Syafi’I berkata, ‘Saya tidak memberi toleransi untuk meninggalkan ibadah kurban bagi orang yang mampu’, maksud dari beliau Imam Syafi’I adalah makruh meninggalkan ibadah kurban bagi orang yang mampu.” (Imam al-Baijuri, Hasyiah al-Baijuri, juz 2, hal 317)
Kriteria Hewan Kurban
Kurban adalah ibadah yang notabenya menyembelih hewan. Hewan yang disembelih hanya tertentu pada hewan ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Ulama sepakat (ijma’) hewan selain jenis yang disebutkan tidak sah dijadikan hewan kurban.
baca juga: Talfiq Dalam Bermadzhab, Pengertian dan Status Hukumnya
Meski demikian, tidak semua semua hewan ternak (sapi, kambing, dan unta) sah dijadikan kurban. Ada kriteria tertentu bagi hewan ternak yang bisa dijadikan kurban. Pertama, dalam segi usia. Ibnu Qasim al-Ghozi menyebutkan kriteria usia hewan yang sah dijadikan kurban sebagai berikut:
(ويجزىء فيها الجذع من الضأن) وهو ما له سنة وطعن في الثانية (والثني من المعز) وهو ماله سنتان وطعن في الثالثة (والثني من الإبل) ما له خمس سنين وطعن في السادسة (والثني من البقر) ما له سنتان وطعن في الثالثة
Artinya, “Hewan yang mencukupi untuk berkurban adalah domba berumur 1 tahun menginjak umur 2 tahun, kambing berumur 2 tahun menginjak 3 tahun, unta berumur 5 tahun menginjak 6 tahun, serta sapi berumur 2 tahun menginjak 3 tahun.” (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, fathu al-Qorib al-Mujib, hlm 312)
Kedua, hewan tersebut harus terbebas dari cacat. Ada beberapa cacat yang manshush, dinyatakan Nabi Muhammad Saw langsung melalui sabdanya:
أربع لا تجزئ في الأضاحي العوراء البين عورها . والمريضة البين مرضها . والعرجاء البين ظلعها . والكسيرة الضتي لا تنقي
Artinya, “Ada 4 hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, (1) yang sebelah matanya jelas-jelas buta, (2) yang jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang kakinya jelas-jelas pincang, dan (4) yang badannya sangat kurus dan tidak berlemak.” (HR. Ibnu Majah)
Berangkat dari hadits ini para ulama sepakat bahwa hewan yang mengalami emapt jenis cacat berat di atas tidak bisa/tidak sah dijadikan hewan kurban. Sementara hewan ternak yang mengalami cacat ringan masih bisa dijadikan kurban. Dari hadits ini pula, para ulama merumuskan satu kaidah (dhabith) terkait kecacatan yang menyebabkan hewan ternak tidak sah dijadikan kurban. Syekh Ibarahim al-Baijuri mengatakan:
والضابط الجامع لجميع ما كر كل معيبة بما ينقص اللحم أو غيره مما يؤكل
Artinya, “Kriteria yang menghimpun semua yang telah disebutkan (aib yang menyebabkan hewan ternak tidak sah dijadikan kurban) adalah segala aib yang dapat mengurangi daging atau bagian tubuh lainnya yang bisa dikonsumsi” (Ibrahim al-Baijuri, Hasyiah al-Baijuri, juz 2 hal 214)
Waktu Pelaksanaan Kurban
Sementara waktu pelaksanaan ibadah kurban iyalah dimulai dari terbitnya matahari setinggi satu tombak pada hari raya idul adha (10 Dzulhijjah) sampai dengan terbenamnya matahari pada hari tasyriq (13 Dzulhijjah). Para ulama mengatakan, makruh melaksanakan kurban pada malam hari. Hal itu karena dikhawatirkan terjadi kesalahan dari penyembelih /jagal saat menyembelih hewan kurban. Dalam hal ini, Imam Nawawi mengatakan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ ذَبْحُهَا فِي هَذَا الزَّمَانِ لَيْلًا وَنَهَارًا لَكِنْ يُكْرَهُ عِنْدَنَا الذَّبْحُ لَيْلًا فِي غَيْرِ الْأُضْحِيَّةِ وَفِي الْأُضْحِيَّةِ أَشَدُّ كَرَاهَةً
Artinya, “Para ulama sepakat boleh (sah) menyembelih di zaman ini baik di malam hari maupun siang hari. Akan tetapi, bagi kami (pengikut imam syafi’i) makruh menyembelih di malam hari pada hewan selain kurban. Sementara untuk hewan kurban hukumnya sangat dimakruhkan.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz 8 hal 288)
baca juga: Makruh Tahrim Dan Makruh Tanzih Dalam Literatur Fikih
Demikian penjelasan singkat terkait hukum, waktu, dan kriteria hewan kurban yang sah dijadikan kurban. Semoga bermanfaat. Waallahu A’lam.