Salah satu kesunnahan saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan adalah menyegerakan berbuka puasa (ta’jilul-fitr) ketika yaqin bahwa waktu maghrib sudah masuk. Bahkan bagi orang berpuasa meninggalkan menyegerakan berbuka puasa dengan sengaja. Anjuran ini didasarkan pada hadits Nabi Saw:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Artinya, “Tiada henti-hentinya manusia berada dalam kebaikan tatkala mereka menyegerakan berbuka puasa” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits lain Nabi Saw menyebutkan bahwa salah satu kebahagian orang berpuasa adalah saat berbuka.
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ
Artinya, “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabnya” (HR. Bukhari Muslim)
Namun terkadang masyarakat mengalami kendala saat ingin menyegerakan berbuka puasa, semisal ketika listrik mati disertai mendung menyelimuti langit yang berakibat kesulitan dalam menentukan masuknya waktu maghrib, hingga akhirnya menduga bahwa waktu berbuka puasa telah tiba. Namun selang beberapa menit terdengar suara adzan yang menandakan bahwa dugaan tersebut ternyata salah. Atau mendengar suara yang disangka adzan namun ternyata bukan. Dalam keadaan demikian apakah puasanya menjadi batal? mengingat sudah menyantap hidangan buka puasa.
Baca juga : Khawatir Lupa Niat Puasa Ramadhan, Begini Solusinya
Dalam madzab Syafi’iyah dijelaskan bahwa jika orang yang berpuasa menyangka atau punya keyakinan waktu maghrib telah tiba sehingga ia makan atau minum namun ternyata prasangkanya salah, maka puasanya dihukumi batal dan harus diqadha’. Keterangan ini antara lain disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin al-Hisni dalam kitab Kifayah al-Akhyar, beliau mengatakan:
لو أكل معتقدا أنه قد دخل الليل ثم بان خلافه لزمه القضاء اهـ
Artinya, “Andai seorang makan dengan berkeyakinan bahwa malam (waktu maghrib) sudah tiba, kemudian terbukti keyakinannya salah, maka ia wajib mengqadha’ puasanya” (Taqiyuddin al-Hisni, Kifayah al-Akhyar, hal 206, Maktabah Dar al-Ihya’)
Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang sedang menyantap sahur menyangka waktu subuh belum tiba namun ternyata prasangkanya salah. Hal ini bukan tanpa alasan. Syaikh Zainuddin al-Malibari menerangkan suatu kaidah fiqih bahwa prasangka yang jelas salah tidak dapat dijadikan pertimbangan (La Ibrata bin al-Dzon al-Bayyin Khot’uhu). Dalam kitab Fathul Mu’in beliau mengatakan:
ولو أكل باجتهاد أولا وآخرا فبان أنه أكل نهارا، بطل صومه، إذ لا عبرة بالظن البين خطؤه، فإن لم يبن شئ: صح.
Artinya, “Jika seorang makan dengan berdasarkan ijtihadnya pada awal waktu (sahur) dan akhir waktu (berbuka), lalu ternyata diketahui olehnya bahwa ia makan di waktu siang (waktu puasa) maka puasanya batal, sebab tidak dapat dijadikan pertimbangan prasangka yang jelas kesalahannya. Jika tidak tampak apapun padanya maka puasanya tetap sah” (Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, hal 114, Dar al-Kutub al-Islamy)
Baca Juga: Mengenal Kitab Is’afu Ahlil Iman: Pedoman Puasa dari Gurunya Para Ulama
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa puasa dihukumi batal bagi orang yang berbuka karena menyangka waktu Maghrib tiba namun ternyata prasangkanya salah. Oleh karena itu sebaiknya jangan berbuka puasa sampai betul-betul yaqin bahwa waktu Maghrib sudah masuk demi menghindari kejadian seperti di atas. Waallahu A’lam