Hajatan Muktamar hanya menghitung bulan. Kalau mengikuti hasil Munas –Konbes Nahdlatul Ulama kemaren, muktamar NU ke 34 akan digelar pada tanggal 23 -25 Desember 2021 mendatang di Lampung. Ya, para peserta Muktamar dari berbagai daerah akan tumplek hadir ke Lampung untuk mensukseskan hajatan terbesar dalam tubuh organisasi terbesar pula di Indonesia bahkan didunia.
NU merupakan organisasi besar dengan massa yang besar pula. Perbedaan ditubuh organisasi NU adalah ‘penyedap’ untuk memajukan organisasi ulama tersebut. Lebih lebih dalam agenda lima tahunan, yakni memilih Rois Aam PBNU dan ketua Tanfidziyah selama lima tahun kedepan.
Agaknya yang sangat santer kita dengar melalui media cetak maupun elektronik adalah bakal Calon Ketua PBNU mendatang. Antara Kiai Said dan Gus Yahya sudah melakukan silaturrahim dengan para pengurus wilayah di beberapa provinsi. Sehingga pada akhirnya saling mengklaim telah dicalonkan oleh beberapa ketua PWNU dan beberapa PCNU di Kabupaten. Tentu ini menarik, karena pada muktamar di Jombang yang 33 kemaren Gus Yahya adalah ‘Tim’ dari Kiai Said. Terlepas dari menguatnya kedua nama tersebut, alangkah baiknya antara kedua beliau ini tidak terpancing oleh gorengan media massa yang seakan membenturkan antara kiai A dan kiai B.
Menjadi pimpinan di NU ini adalah jabatan sakral, bukan hanya amanah menjadi Rois Aam saja yang sakral, menjadi ketua Tanfidziyah juga jabatan sakral yang sangat tidak pantas untuk digemborkan dengan menggerakkan siapa saja yang telah mendukungnya, apalagi telah mengkapling dukung mendukung. Disini perlu kedewasaan kita semua dalam menyikapi dinamika yang berkembang. Jangan lantas kita menjadi pemilik saham juga atas ketidak stabilan kondisi muktamar dengan cara menyebarkan hoax yang merugikan antara Kiai Said dan Gus Yahya.
Sesuai dengan temanya ‘NU Mandiri, Indonesia Bermartabat’. Menurut Robikin, tema ini ingin menegaskan bahwa NU selalu setia dalam berkhidmat untuk bangsa dan Negara. Dan yang paling urgen adalah, bahwa sebagai infrastruktur social, NU merupakan bagian tak terpisahkan dari civil society. Harapannya Indonesia harus kuat secara ekonomi, budaya, secara politik sehingga bisa bermartabat dalam dunia global.
Sejatinya Muktamar ke 34 ini menjadi momentum jamiyah Nahdlatul Ulama untuk membuktikan kepada Bangsa Indonsia bahkan dunia sebagai organisasi bermartabat dan menjungjung tinggi etika dalam segala hal, termausk dalam bermuktamar. Kita pasti tidak ingin, bahwa ‘pertarungan’ Kiai Said dan Gus Yahya ini diartiakan sebagai bentuk rebutan jabatan. Sama sekali tidak ingin. Ulama terdahulu telah memberi contoh yang sangat bijak dan adem. Bagaimana sosok Kiai Asad tidak mau didapuk menjadi Rois Aam walaupun malaikat Jibril menyuruhnya. Begitu pula dengan Kiai Mahrus Ali Liroboyo yang dengan tegas menolak sekalipun yang memerintahkan Izrail. Ini adalah sebuah contoh yang patut menjadi telada dan renungan berfikir bagi kita semua warga NU. Bahwa di NU yang ada bukan mencalonkan akan tetapi dicalonkan oleh peserta muktamirin. Tidak perlu turun kebawah, apalagi hanya menjelang Muktamar. Cukup dengan mensinergikan kemauan ulama sepuh dalam menahkodahi Jamiyah Nahdlatul ulama, maka akan terasa bahwa organisasi NU betul betul menjadi organisasi ulama yang notabene para pengurus atau pelaksananya sangat tunduk dan taat terhadap perintah kiai sepuh.
Untuk menjadikan muktamar kali ini sesuai dengan tema yang diusung tanpa ada kegaduhan, sangat diharap peran para kiai sepuh untuk memberikan fatwa agar selalu tunduk akan keputusan rois Syuriyah di masing masing Provinsi dan kebaupten. Berjalan sendiri tanpa memohon petunjuk kepada Rois syuriyah dalam memilih ketua umum PBNU telah menyalahi alamiah ber organisasi ditubuh NU. Tidak dapat dibenarkan seorang ketua Tanfdziyah berangkat sendiri tanpa pertimbangan yang matang serta hanya latah dengan ‘euforia’ dilapangan dengan mementingan diri sendiri bukan tubuh organisasi.
Sebaiknya kelompok diluar NU tidak boleh ikut campur dalam dinamika pemilihan ketua PBNU. Partai partai politik haram berada dalam lingkaran muktamar, karena mereka akan memperkeruh suasana. Para politisi yang hanya mempunyai kepentingan pragmatis harus dijauhkan dari hajatan suci Muktamar. Sebab campur tangan mereka akan menghilangkan sakralitas muktamar itu sendiri. Bahkan bisa menafikan tangan tangan keramat dalam menentukan hak vetonya untuk mendudukan seorang pimpinan tertinggi di organisasi Nahdlatul Ulama.
Walhasil, melalui koin Muktamar yang sudah dijalankan dua tahun terakhir, kemandirian dalam Muktamar harus menjadi ikon untuk tidak dicampuri oleh tangan tangan najis yang pada akhirnya hanya menjadi penumpang gelap di jamiyah Nahdlatul Ulama. Saya sebagai kabuleh di organisasi NU punya harapan besar dalam Muktamar kali ini. Harapan agar NU tidak hanya dijadikan sebagai wasilah-wasilah tidak urgen. Dengan penuh harap NU harus berada pada posisi sebagaimana cita cita awal para muassis. Semoga kita yang hadir pada hajatan Muktamar di Lampung mendatang akan disangoni barokah oleh Syaichona Cholil, Mbah Hasyim, Mbah Wahab, Kiai Bisyri Syansuri, Kiai Ridlwan, Kiai Nawawi Sidogiri, Kiai Asad dan para muassis lainnya.
Wallahu a’lam.