Muktamar ke 34 sebagai musyawarah dan pertemuan tertinggi di Nahdlatul Ulama akan segera digelar, namun waktunya masih belum bisa ditentukan melihat kondisi Indonesia yang belum pulih dari covid-19. Akan tetapi, jika merujuk hasil Munas dan Konbes NU beberapa waktu yang lalu, Muktamar bakal digelar tanggal 23 sampai dengan tanggal 25 Desember 2021 mendatang.
Namun belakangan ada kabar, bahwa pemerintah akan menerapkan PPKM level 3 se-Indonesia. Tentu kabar tersebut sangat mempengaruhi terhadap jadwal dilaksanakannya Muktamar. Maka muncul dilema, di antaranya, (1) harus mengikuti amanah Munas dan Konbes; dan (2) harus taat terhadap pemerintah yang akan menerapkan PPKM tersebut.
Dari sinilah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sedang diuji integritasnya dalam berpedoman terhadap amanah organisasi. PBNU Harus satu suara dalam menentukan kapan Muktamar akan digelar. Tidak ada gunanya antara satu dengan yang lain berbeda dalam penentuan waktu Muktamar. Jauhkan ego, agar Muktamar NU ke-34 berjalan sesuai dengan temanya “NU Mandiri, Indonesia bermartabat”.
Namun ada sedikit hal janggal ketika melihat kondisi yang berkembang, ada semacam gangguan tersendiri bagi saya sebagai warga NU yang hidup di desa. Masyarakat walau tidak selantang orang orang yang vokal, namun pertanyaannya lumayan sedikit nyerempet. “Kapan pergantian Ketua PBNU?”. Itulah yang akhir-akhir ini selalu saya dengar. Orang orang di desa tidak paham Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang terdapat di dalam tubuh organisasi NU. Mereka beranggapan agar sekiranya pengurus NU harus intens menyapa masyarakat dengan cara meneruskan cita cita para muassis.
Bagaimana dengan situasi Muktamar 34 ini?
Covid 19 yang belum juga berakhir secara total, berdampak signifikan terhadap pelaksanaan Muktamar NU ke 34. Entah sudah beberapa kali ditunda karena covid 19 ini. Pada dasarnya Muktamar ke 34 ini harus dilaksanakan pada 23 sampai 25 Desember dengan merujuk hasil Munas dan Konbes beebrapa waktu yang lalu.
Akan tetapi hari ini, kita juga sedang diuji dengan rumor antara maju dan mundurnya pelaksanaan Muktamar. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi; pertama, jika merujuk surat Rais Alam, maka Muktamar akan digelar pada tangal 17 sampai 19 Desember. Kedua, Muktamar ke 34 akan diundur sampai tanggal 31 Januari.
Dari opsi itu sama-sama mempunyai argumentasi yang cukup kuat, baik berlandaskan terhadap amanah Organiaasi dan yang berpatokan kepada peraturan pemerintah. Kabar terakhir, Jumat 3 Desember, Kiai Said melayangkan surat kepada Rais Aam, guna mengadakan rapat yang akan dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2021, tujuan rapat tersebut untuk memastikan waktu pelaksanaan Muktamar.
Jika pada akhirnya, masih belum ada kata sepakat mengenai waktunya, maka saya sebagai warga NU yang ada di desa bermaksud ingin menawarkan solusi. Paling tidak ada dua poin. Pertama, jika terjadi kata tidak sepakat mengenai waktu pelaksanaan Muktamar, maka Ber-Muktamar ala Syaichona Cholil perlu diulang kembali. Bagaimana mekanismenya? Ingat, bahwa sebelum NU dideklrasikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim, ada semacam isyarah langit dari Gurunya melalui santri Syaikhona Kholil yang bernama Kiai As’ad. Pada waktu itu, sebelum tasbih yang dikalungkan terlebih dahulu tongkat dulu yang di berikan sang maha guru kepada Mbah Hasyim. Jadi mandat terlebih dahulu dikukuhkan, lalu program program dibelakang hari. Sederhananya begini; jika rapat hari Selasa mendatang ini deadlock, saling ngotot dengan memberi pandangan pandangan pribadinya maka harus ada tawaran solusi.
Solusinya adalah, Muktamar ke 34 kali ini haru dikembalikan lagi ke Bangkalan, yakni kepada Syaikhona Muhammad Kholil. Ber-Muktamar di Bangkalan hanya sebatas memilih Rois dan ketua urusan agenda lainnya, semisal Bahtsul Masail, Komisi Program, organisasi bisa dilaksanakan di Lampung dengan peesiapan yang cukup matang. Ber-Muktamar di Bangkalan adalah solusi terbaik. Mengingat sejarah, Napak tilas dan meneguhkan bahwa Jam’iyah Nahdlatul Ulama ini adalah milik para ulama yang jika ada semacam persoalan harus dikembalikan kepada para ulama terutama para muassis.
Kedua, jika tetap saja tidak menemukan jalan sepakat, sebaiknya seluruh pengurus PBNU, PWNU, PCNU se- Indonesia mengadakan rihlah Muassis secara bersamaan, sebagai bentuk upaya pengaduan kepada para ulama yang telah membentuk wadah Nahdlatul Ulama.
Dari dua pilihan, hanya yang yang pertama paling mungkin dilaksanakan. Yaitu Ber-Muktamar di Bangkalan, dekat Makam Mbah Kholil. Jika hitungan peserta 1000-3000 insyallah Bangkalan siap untuk menyelesaikan hiruk-pikuk yang saat ini masih menjadi tarik ulur. Apakah dalam waktu sesingkat ini Bangkalan siap?
Saya tegaskan, jika semua pengurus PBNU, PWNU, PCNU se-Indonesia legowo insyallah Bangkalan akan siap mengulang sejarah dan akan menjadi rumah dari pada seluruh warga NU se-Indonesia bahkan sedunia.
Terakhir, mari berfikir kembali dengan jernih, tanpa menampung gagasan pribadi, hanya untuk kepentingan pribadi bukan jam’iyah Nadlatul Ulama. Mengembalikan lagi ke Bangkalan adalah solusi yang sangat tepat. Saya hanya sedikit bercerita, bahwa salah satu dzuriiyah Mbah Kholil, ada yang bermimpi daditangi oleh Syaichona Cholil. Dalam mimpi tersebut Syaikhona Muhammad Kholil menanyakan perihal Muktamar. Dan, yang sangat menjadi ke khawatiran, jika NU menjalani kekosongan Pengurus maka bukan tidak mungkin terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Naudzubillah. Mari Ber-Muktamar dengan sehat dan ramah lingkungan.
Ahrori Dlofir, Warga Nahdlatul Ulama Bangkalan Madura