Telah menjadi di agenda rutinan di penghujung tahun seperti ini, muncul fatwa yang menyatakan bahwa merayakan tahun baru dilarang dalam Islam. Alasannyapun beraneka ragam. Yang sudah tidak lagi tabu di telinga kita dikatakan bahwa itu merupakan bagian dari tindakan non-Muslim yang tidak ditiru oleh Rasulullah. Euforia untuk menyambut tahun baru antara lain meniup terompet, membakar petasan atau kembang api, serta membakar ikan atau apapun yang bisa dibakar untuk dimakan. Padahal, gaya menyambut tahun baru dengan terompet dan kembang api bukanlah kebiasaan di zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, tidak ada hadits yang secara khusus menjelaskan hukum meniup terompet dan menyalakan kembang api. Sehingga sisi negatifnya ditinjau dari tindakan menghambur-hamburkan harta.
Jika itu hanya pendapat yang Anda yakini pada diri sendiri, itu mungkin tidak menjadi masalah. Namun, “lelucon” ini menjadi berbahaya jika ucapan selamat tahun baru digunakan sebagai tolak ukur bahwa pembicara sudah tidak lagi menjalankan agamanya dengan benar.
Keyakinan bahwa ada sekat yang sangat tebal antara budaya kita dengan budaya lain, dimana bila kesenjangan ini dilintasi, berarti kita telah meninggalkan ajaran agama. Agama hanyalah fobia hipotesis yang diciptakan oleh kelompok yang memiliki kepentingan yang meminta pendapat kasus suksesi orang lain seperti tahun baru adalah hal murahan yang ujung-ujungnya akan mencitrakan Islam membenci segala sesuatu yang berbau modern, progresif, eksklusif. Ini adalah kesalahan besar bagi orang yang beragama karena tidak tahu sifat agamanya. Karena kesalahpahaman ini, terkadang ada sebagian dari kita yang memperjuangkan sesuatu tapi tanpa sadar, kita menghancurkannya. Perdebatan yang berkepanjangan tentang hal ini hanya akan memberikan gambaran bahwa kita sebagai umat Islam apatis terhadap kemajuan zaman.
Mereka yang tidak mempercayai budaya mereka sendiri sering menderita dalam beberapa kasus fobia dari budaya lain seperti ini. Ketakutan akan dominasi peradaban Barat bermula dari semangat yang justru kalah dalam persaingan global. Sikap ini akan mengarah pada eksklusivitas dan pada akhirnya akan mengarah pada ekstremisme dengan melakukan tindakan yang fundamental. Mereka yang tidak setuju dengan mereka dianggap musuh dan harus dimusnahkan.
Hemat dari penulis, yang pertama, unsur tasyabbuh dalam perayaan tahun baru sudah hilang karena merayakan Tahun Baru adalah praktik yang tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Meski ada yang mengatakan bahwa datangnya lebih dulu dari kalangan Nasrani. Namun seiring berjalannya waktu, perilaku ini telah menjadi budaya universal yang tidak membedakan kelompok manapun. Tahun Baru telah menjadi bagian dari budaya modern masyarakat dunia.
Pada tingkat ruang lingkup kecil, pembahasannya kira-kira sama dengan fenomena memakai celana. Ketika Belanda menjajah Indonesia, celana menjadi model pakaian yang mereka kenakan sehari-hari. Ini adalah spesialisasi atau ciri khas mereka. Pada saat itu, siapa pun mengenakan pakaian seperti itu – itu dianggap golongan mereka. Seiring berjalannya waktu, dasi telah menjadi pakaian modern dan tidak mencerminkan kalangan manapun.
Kedua, Tahun Baru bukanlah sebagai budaya orang fasik dan menyimpang. Karena Sekarang, ibu kota negara serta lembaga pemerintah dan departemen di dunia mengakui budaya ini. Mereka tidak melakukan sesuatu yang melanggar norma kesopanan. Meski tak bisa dipungkiri hal itu sering terjadi saat pergantian tahun. Dengan demikian, mengatakan bahwa Tahun Baru adalah budaya yang menyimpang sudah tidak relevan lagi di era sekarang ini.
Ketiga, mereka yang membenci inovasi dengan cara yang berbeda biasanya memiliki cara berpikir yang tertutup. Bahkan menyangkut nilai-nilai agama sekalipun. Dan alasan menghambur-hamburkan uang sudah tidak relevan karena tidak bisa pungkiri pembelian petasan dan kembang api merupakan hal yang bermanfaat untuk menghibur diri sendiri dan orang yang yang ada di sekitarnya karena tolak ukur menghambur-hamburkan uang yang dilarang agama ketika memang tidak memiliki faidah sama sekali sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab qadha al adab:
والضابط فى اضاعة المال أن يكون لالغرض دينى ولا دنياوى فمتى انتفى هذان الغرضان من جميع وجوههما حرم قطعا قليلا كان المال أو كثيرا ومتى وجد واحد من الغرضين وجودا له مال وكان الانفاق لائقا بالحال ولامعصية فيه جاز قطعا. اهـ.
Artinya, “Batasan dalam menyianyiakan harta adalah menyianyiakannya tidak karena tujuan agama maupun dunia, jika dua tujuan ini tidak ada maka hukumnya haram. Namun, jika salah satu dari dua tujuan ini ada maka hukumnya boleh”. (Qadla al-Adab, hal 441)
Demikian mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi. Semoga bermanfaat
Kontributor : M. N. Hidayat