Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 9 :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ
Artinya, “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang ber’akallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9).
Secara tekstual ayat ini memberikan isyarat bahwa, orang mukmin itu adalah ahli ilmu. Sedangkan orang-orang kafir adalah ahli juhala’ (orang-orang bodoh). Lafadz istifham (kalimat tanya) di atas merupakan istifham ingkary, yang artinya Allah SWT menegaskan bahwa orang alim itu lebih istimewa daripada orang bodoh. Dan perlu dipahami, yang dimaksud ilmu dalam ayat tersebut adalah ilmu yang mengantarkan makrifat kepada Allah dan ilmu yang dapat menyelamatkan kita dari murka Allah SWT. Inilah mengapa orang Arab di zaman dahulu dijuluki Jahilyah. Meski mereka paham tentang ilmu dunia, tapi ilmu yang mereka kuasai sama sekali tidak bermanfaat sebab perbuatan menyimpang yang mereka lakukan.
Selain itu, maksud dari orang-orang yang berilmu adalah mereka yang memanfaatkan serta mengamalkan ilmunya dengan benar. Menurut Abu Hayyan, ayat di atas memberi isyarat, kesempurnaan manusia itu terbatasi hanya pada dua maksud, yakni ilmu dan amal. Jadi, antara ilmu dan perbuatan itu harus sesuai. Sebab, puncaknya ilmu itu adalah amal. Ketika ingin amal yang diperbuat bisa bermanfaat maka, harus disertai dengan ilmu.
Tentang penggalan ayat tersebut, Syekh Wahbah az-Zuhaily menjelaskan, Orang yang bisa mengambil tauladan dan memahami ayat-ayat Allah hanyalah orang-orang yang memiliki pemikiran yang bersih. Sesungguhnya orang alim adalah orang yang mengetahui kebenaran dan jalan untuk terus istiqomah. Tentu ini sangat berbeda dengan orang-orang bodoh yang mudah terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Pada dasarnya, manusia itu semuanya tercipta dari perkara yang sama. Cuma yang membuat perbedaan yang cukup signifikan adalah berapa banyak ilmu yang dikuasai.
Berdasarkan ayat di atas, sudah sepatutnya kita sebagai santri harus giat dalam mencari ilmu dan menjdaikannya prioritas utama. Karena, seorang mukmin akan terhormat dan dimuliakan sebab ilmunya. Hal ini memerlukan kesadaran agar terus muthola’ah di manapun dan kapan pun secara konsisten sampai akhir hayat. Rasulullah SAW sangat memperhatikan pendidikan umatnya. Hal itu, terlihat jelas dalam peristiwa tawanan perang badar. Dengan kebijaksanaannya, beliau memberikan pilihan kepada tawanan tersebut antara membayar tebusan atau mengajari membaca dan menulis anak-anak orang Islam di Madinah. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang strategis untuk mempercepat transformasi ilmu di kalangan umat Islam kala itu.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Keutamaan orang alim dengan orang bodoh seperti keutamaanku dengan seorang sahabat yang paling rendah.” Dari sini kita sudah paham, bagaimana bisa Nabi Muhammad SAW sampai menyamakan ilmu dangan pangkat para nabi. Dan bagaimana Allah tidak terlalu memandang ibadah tanpa dibarengi dengan ilmu.
Tak henti-hentinya beliau memberikan motivasi dan nasehat kepada para sahabatnya tentang ilmu. Mencari ilmu menurut beliau tidak terbatasi oleh usia. Selama manusia belum masuk ke liang lahat dan masih mampu melakukan proses untuk belajar dan memperdalam ilmunya. Sebagaimana dikatakan, “Carilah ilmu mulai dari ayunan sang bunda sampai liang lahat.”
Referensi:
Tafsir Munir, Maktabah Syamilah, Juz 23, hal. 258,
Mauidzoth al-Mukminin, Nurul Huda, hal. 5
Al-Manhal al-Latif, Ha’iah As-Shofwah, hal. 16
Penulis : Abdurrohman Wahid, Santri Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil