Perayaan Maulid Nabi Saw sudah menjadi tradisi ummat islam sejak zaman dulu. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Katsir, dalam kitab tarikh monumentalnya menyebutkan bahwa perayaan maulid Nabi Saw besar-besaran dilakukan pertama kali oleh Raja Mudzaffar, penguasa wilayah Arbil (sekarang Irak) pada abad ke-7 silam.
Namun, seiring berjalannya waktu, Perayaan maulid Nabi Saw banyak mendapat respon negatif dari sebagian ulama. Sebut saja salah satunya adalah Tajuddin al-Fakihani (w. 734 H), ulama Malikiyah yang hidup pada awal abad ke-8. Ia mengharamkan dan membid’ahkan perayaan maulid Nabi Saw. Pendapatnya itu ia tulis dalam sebuah karya yang berjudul al-Maurud Fi ‘Amal al-Maulid. Pendapat ulama Malikiyah itu mendapat tanggapan yang cukup serius dari ulama Syafi’iyah yang hidup setelahnya, yaitu Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam karyanya Husnu al-Maqshad Fi ‘Amali al-Maulid, sebuah risalah kecil tentang maulid Nabi Saw.
Tajuddin al-Fakihani mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi Saw adalah bid’ah yang haram. Alasannya adalah karena belum ditemukannya dalil baik Al-Qur’an maupun Hadits yang menganjurkan perayaan maulid Nabi Saw. Oleh karena itu, hukum merayakan maulid nabi tidak bisa dihukumi sunnah karena syariat tidak menganjurkannya.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Husnu al-Maqshad Fi ‘Amali al-Maulid membantah beberapa argumen Tajuddin al-Fakihani tersebut.
Pertama, maulid Nabi tidak memiliki dasar
Dalam membantah statnen ini, Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan, belum ditemukan belum tentu tidak ada. Meski tidak ada dalil yang secara khusus menganjurkan perayaan maulid Nabi Saw, akan tetepi kesunnahan merayakan maulid Nabi Saw ini didasarkan pada qiyas. Ada dua hadits menurut Jalaluddin as-Suyuthhi yang dijadikan qiyas dalam menganjurkan maulid Nabi Saw, diantaranya adalah hadits riwayat Ibnu Abbas ra:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى
Artinys, “Bahwa Nabi Saw datang ke Madinah dan menemukan orang Yahudi sedan berpuasa pada hari ‘Asyura. Nabi kemudian bertanya megapa mereka berpuasa, mereka menjawab: hari ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Nabi Musa as, maka kami berpuasa sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar, saat mengomentari hadits ini, mengatakan dianjurkan mengungkapkan rasa syukur atas anugrah yang diberkan Allah pada hari tertentu. Sementara mengungkapkan rasa syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah seperti shalat, sedekah, puasa, dan lainnya. Dan, kata Ibnu Hajar, tidak ada nikmat yang sebesar lahirnya Nabi Muhammad Saw.
Kedua, maulid Nabi Saw bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh ulama terdahulu
Dalam membantah stanten kedua ini, Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan bahwa perayaan maulid dilakukan pertama kali oleh seorang raja alim. Sang raja melakukan itu tidak lain karena untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam perayaan tersebut juga ikut hadir sejumlah ulama dan mereka sama sekali tidak mengingkarinya bahkan ridho terhadap perayaan maulid tersebut.
Selain itu, menurut jalaluddin as-Suyuthi, hal-hal yang ada pada perayaan maulid sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, maupun ijma’ ulama. Oleh karena itu, perayaan maulid Nabi Saw dikatakan bid’ah yang haram. Sebab, bid’ah yang haram adalah melakukan sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi serta bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, maupun ijma’.
Itulah bantahan Jalaluddin as-Suyuthi terhadap ulama yang mengharamkan serta membid’ahkan maulid Nabi Saw.