Diantara keistimewaan orang yang berpuasa adalah bau mulutnya disisi Allah SWT lebih harum dari pada minyak misik. Hal ini menjadi bukti betapa dimuliakannya orang yang berpuasa sampai-sampai bau mulutnya lebih harum dari pada baunya minyak misik disisi Allah SWT.
Dalam hadist riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
لخلوف فم الصائم أطيب عند لله من ريح المسك
“Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebi baik/harum disisi Allah dari pada bau minyak misik.”
Dari hadits inilah kemudian para Ulama dalam madzhab Syafi’i memakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak setelah tergelincirnya matahari, dan pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i. Alasan mereka, jika bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari pada minyak misik disisi Allah maka tentu makruh untuk menghilangkannya. Kemakruhan ini berlaku pada semua ibadah puasa baik yang wajib maupun yang sunnah.
Akan tetapi Abu Isa dalam kitabnya menukil dari Imam Syafi’i, bahwa Imam Syafi’i mengatakan tidak masalah bagi orang yang berpuasa siwakan sekalipun setelah tergelincirnya matahari. Namun pendapat ini dinilai gharib oleh para ulama sekalipun pendapat ini kuat secara dalil, bahkan Imam al-Muzanni yang merupakan santri Imam Syafi’i menilai pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar.
Nah, mengapa yang dimakruhkan hanya setelah tergelincirnya matahari saja, kalau memang alasanya demikian? Ulama dalam madzhab Syafi’i menjawab, bahwa setelah tergelincirnya matahari tampak jelas bahwa bau mulut tersebut diakibatkan kosongnya lambung sebab berpuasa. Sedangkan kalau sebelum tergelincirnya matahari disebabkan bekas makanan. Oleh sebab itulah yang dimakruhkan hanya setelah tergelincirnya matahari.
Perlu dipahami, kemakruhan ini berlaku jikalau seseorang bersiwak menghilangkan bau mulut yang diakibatkan oleh puasa. Oleh karena itu Imam al-Thabar dalam Syarah Tanbih berkata:
لو تغير فمه بعد الزوال بسبب اخر كنوم او وصول شيء كريه الريح الى فمه فاستاك لذلك لم يكره
“Jika perubahan bau mulut setelah tergelincirnya matahari disebabkan hal lain seperti tidur atau sampainya sesuatu yang berbau menyengat ke dalam mulut kemudian bersiwak maka tidak makruh (boleh).”
Dari penjelasan at-Thabari diatas menyimpulkan bahwa jika seseorang tidur kemudian setelah bangun siwakan maka tidak makruh. Sebab dia menghilangkan bau mulut yang tidak disebabkan oleh puasa melainkan karena tidur.
Di zaman sekarang, orang lebih seringkali sikat gigi dari pada bersiwak. Hal ini dikarenakan sikat gigi lebih efektif untuk membersihkan gigi, apalagi disertai dengan pasta giginya. Tentu ini lebih berpengaruh terhadap kebersihan dan bau mulut.
Kyai Imaduddin, salah satu ulama NU asal Banten menulis sebuah kitab yang membahas tentang ajaran dan prinsip Nahdlatul Ulama yang diberi nama al-Fikrotu an-Nahdiyyah. Dalam kitab tersebut beliau menuturkan:
لقد أشبه أهل العلم المعجون لتنطيف الاسنان بالسواك في الاستحباب
“Sungguh, ahlul Ilmi telah menyamakan pasta gigi untuk membersihkan gigi dengan siwak dalam kesunahannya.”
Dengan artian, dizaman sekarang bersiwak tidaklah hanya dengan kayu auroq yang biasa digunakan, tapi juga bisa menggunakan pasta gigi dan tentu terdapat pahala kesunnahannya.
Oleh karena itu, hukum gosok gigi memakai pasta gigi sehabis tidur di bulan puasa hukumnya boleh bahkan tetap sunnah. Alasannya sebagaimana diatas, perubahan bau mulutnya disebabkan hal-lain selain puasa yakni tidur.
Sekian…
Penulis : Ismail Zaen, Santri PP. Syaichona Moh. Cholil
Editor : Umair
Referensi :
- Majmu’ Syarah Muhadzab, Vol. 1, Hal. 275
- Asna al-Mathalib, Vol. 1, Hal. 36
- Hasyiah ar-Ramli, Vol. 1, Hal 35
- Al-Fikrotu an-Nadiyyah, Hal. 78
Comments 1